Yayasan Auriga Nusantara mengkaji populasi badak jawa di Taman Nasional Ujung Kulon (TNUK) yang hasilnya sebanyak 15 individu hilang dari pemantauan kamera jebak dalam beberapa tahun terakhir.
“Lima belas Individu di antaranya masih tidak terekam setidaknya sampai tahun 2021 atau Agustus 2022,” ujar Riszki Is Hardianto peneliti Auriga Nusantara dilansir dari Antara, Selasa (11/4/2023).
Riszki mengatakan, jumlah individu yang dirilis KLHK juga berbeda dengan temuan peneliti Auriga Nusantara. KLHK menyebut bahwa populasi badak jawa pada 2022 ada sekitar 75 individu, sementara berdasar hasil penelitian Auriga, jumlahnya justru lebih kecil.
Celakanya, 15 badak jawa yang tak terdeteksi terdiri dari tujuh ekor betina, sementara delapan lainnya jantan. Tak terdeteksinya individu betina sangat dikhawatirkan karena berhubungan dengan upaya konservasi penambahan populasi badak jawa di TNUK.
Menurut Riszki, 15 badak jawa yang tidak terdeteksi ini tidak dipublikasikan oleh otoritas terkait karena dianggap masih hidup. Anggapan tersebut berdasar karena tidak ditemukannya tanda-tanda kematian atau tulang belulang.
“Dalam empat tahun terakhir, meski rekaman kamera selalu lebih kecil dari rekaman 2018, namun Balai Taman Nasional Ujung Kulon atau Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan selalu menyampaikan angka populasi yang meningkat,” kata dia.
Sementara itu, Timer Manurung Ketua Yayasan Auriga Nusantara menyebut data yang diperoleh berasal dari laporan dari berbagai pihak yang terlibat langsung dalam upaya konservasi badak jawa.
Ia menduga sulitnya badak jawa terekam kamera jebak atau hilangnya individu disebabkan masih adanya perburuan. Pasalnya, Yayasan Auriga menemukan adanya jerat yang mengarah ke mamalia besar serta adanya lubang pada tengkorak badak jawa jantan bernama Samson yang mati pada 2018 lalu.
Di samping itu, banyaknya aktivitas ilegal, termasuk yang menggunakan senjata api, masuk ke zona inti lewat berbagai jalur membuat upaya konservasi ini seolah jalan di tempat.
“Bagaimana selama ini Ujung Kulon dalam beberapa tahun terakhir sedang salah arah. Kenapa kami melihat begitu? Karena terlihat dari anggaran justru tidak memprioritaskan konservasi badak. Dalam empat tahun terakhir hampir separuh anggaran habis ke JRSCA (Javan Rhino Study and Conservation Area),” kata dia.
Maka dari itu, Auriga Nusantara mendorong adanya perbaikan menyeluruh terkait proteksi badak jawa. KLHK juga didorong untuk segera menunjuk penambahan habitat kedua ketimbang meneruskan program JRSCA.
“Membangun habitat kedua, karena dulu badak jawa ada di Sumatra, Thailand, Myanmar, dan India. Paling tidak kita ingin memperluas di Ujung Kulon, karena di Ujung Kulon banyak tantangan,” katanya.
Sementara itu, Harini Muntasib Guru Besar IPB sekaligus Tim Penyempurnaan Manajemen dan Rencana Tapak JRSCA beberapa waktu lalu menyebut JRSCA dibangun untuk pusat penelitian badak jawa.
Ia menambahkan, JRSCA dibangun selain untuk meningkatkan populasi, juga menjaga keberagaman genetik yang saat ini menghadapi ancaman perkawinan sedarah.
Sementara untuk menunjuk habitat kedua di luar Ujung Kulon tergolong sulit, karena ekosistemnya harus mendukung kehidupan badak jawa.
Menurutnya, pemerintah sempat melakukan studi ke sejumlah titik calon lokasi, namun tak ada satu pun yang benar-benar dikatakan ideal untuk menopang kehidupan badak jawa.
Penentuan lokasi harus memperhatikan aspek makanan, air, predator, penyakit, hingga ketersinggungan dengan masyarakat sekitar. Selain itu, dibutuhkan areal seluas kurang lebih 5.000 hektare.
“Jangankan memindahkan, untuk bertemu (badak jawa) saja sulitnya setengah mati,” kata dia. (ant/ihz/rst)