Jumat, 22 November 2024

Ulasan Konsumen Tak Bisa Dijerat UU ITE, Ini Alasan Hukumnya

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Anton Hendrik Samudra Kepala Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya. Foto: Ubaya

Anton Hendrik Samudra Kepala Laboratorium Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan, korporasi tidak bisa melaporkan ulasan (review) produk atau jasa yang dibuat konsumen karena pada dasarnya ulasan tersebut bukan perbuatan pidana.

Anton mencontohkan salah satu kasus yang menjadi perhatian publik. Ulasan penumpang maskapai Garuda Indonesia melalui vlog yang berujung dilaporkan polisi pada Juli 2019 lalu.

“Terlepas dari apa pun motif konsumennya, yang perlu diperhatikan, ketika ada korporasi melaporkan konsumen, polisi harus merespon sesuai perundang-undangan. Uniknya kasus ini diterima. Saya menduga karena kurangnya kepekaan penegakan hukum dan euforia Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE),” kata Anton dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (15/3/2022).

Berdasarkan kajian yang dilakukan Anton pada tahun 2018-2019, yang kemudian didukung keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Menko Polhukam, Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri pada Juni 2021 ada pembatasan implementasi UU ITE karena fenomena multitafsir atau pasal karet pencemaran nama baik.

“Kalau kita melihat Pasal 27 Ayat 3 juncto Pasal 45 Ayat 3 UU ITE dan perubahannya itu merujuk pada Pasal 310 dan 311 KUHP. Masuk kriminalitas yang menekankan perbuatan pidananya adalah mendistribusi, mentransmisi, dan membuat dapat diaksesnya informasi elektronik yang bermuatan penghinaan dan atau pencemaran nama baik,” kata Anton.

“Sebenarnya normanya lebih luas karena ada proposisi penghinaan. Sebenarnya semua Bab XVI KUHP itu pencemaran, tetapi ternyata Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 memberikan batasan merujuk pada pasal 310 dan 311 saja yang merupakan bagian kecil dari Bab XVI KUHP tentang penghinaan. Kemudian itu diafirmasi perubahan UU ITE yang rujukannya pasal 310 dan 311 saja,” tambahnya.

Konsep mendistribusikan itu, lanjut Anton, harus menyerang kehormatan orang. Karena pasal 310 bicara tentang pencemaran nama baik, ada tiga elemen yang harus dipenuhi supaya suatu perbuatan disebut mencemarkan nama baik. Pertama, tuduhan suatu hal yang jelas dan konkrit. Kedua, menyerang kehormatan seseorang. Objeknya adalah seseorang. Ketiga diketahui umum atau dipublikasikan.

“Artinya yang perlu ditekankan korban pencemaran nama baik adalah orang. Jadi dalam hal ini kasus review Garuda tidak masuk. Sebelum ada perubahan UU ITE memang lebih luas tapi itu pun tidak ada secara bicara tentang korporasi. Yang bisa dilakukan korporasi yang merasa dirugikan, cukuplah secara perdata atas kesalahan pe-review itu,” ujar Anton.

Terkait pandangan UU ITE mengebiri hak konsumen, Anton meyakini tidak demikian karena dalam UU ITE yang “diserang” adalah orang. Kalau hanya membagikan pengalaman menggunakan produk, seharusnya tidak ada masalah. Asalkan saat mengulas tidak boleh menghina orang tertentu, misalkan pegawai atau pemiliknya.

Konsumen perlu bijaksana ketika melakukan interaksi dengan penyedia jasa atau produsen terutama pasca penggunaan produknya. Memberi ulasan sesuai dengan kenyataan dan pengalaman disertai bukti-bukti.

“Di satu sisi konsumen memiliki hak dan perlindungan dari transaksi perdagangan, tapi di lain sisi konsumen juga harus bijaksana memberikan masukan yang konstruktif pada korporasi,” kata dia.

Selain itu, Pasal 28 ayat 1 UU ITE justru melindungi konsumen yang dirugikan karena berita bohong.(iss/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs