Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menerima 3.027 permohonan dan konsultasi dari masyarakat selama 2021. Jumlah tersebut merupakan angka tertinggi yang diterima LPSK sejak lembaga itu didirikan.
Antonius Wibowo Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) memaparkan, secara umum aduan itu bisa datang melalui dua cara. Pertama, aduan yang dilakukan dengan cara datang langsung ke kantor LPSK di Jakarta. Kedua yang disampaikan melalui Call Center 148, WhatsApp 085770010048, e-mail, surat, atau akun media sosial LPSK.
“Pengaduan yang paling banyak masuk pada tahun 2021 yaitu permohonan perlindungan terorisme. Ini ada kaitannya dengan batas waktu penyelesaian perkara terorisme masa lalu yang harus selesai 2021. Kedua, kekerasan seksual. Disusul tindak pidana lain di urutan ketiga, seperti kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan berbasis informasi teknologi. Keempat, pelanggaran hak asasi manusia, lalu perdagangan manusia, narkotika, dan penganiayaan berat,” kata Anionius kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (16/2/2022).
Antonius menjelaskan, aduan saksi dan korban pelanggaran HAM yang diselesaikan pada tahun 2021 didominasi peristiwa pelanggaran HAM masa lalu, seperti keluarga orang yang dituduh terlibat dalam G30S. Sedangkan aduan kekerasan yang berbasis informasi teknologi misalnya kasus Baiq Nuril, di mana korban ini mengundang perhatian publik agar kasus terungkap, tapi kemudian malah digugat.
Kalau kekerasan seksual berbasis informasi teknologi, modusnya pemerasan. Pelaku mengintimidasi korban dengan cara mengancam akan menyebarkan foto atau video asusila korban. “Umumnya berkaitan dengan intimidasi oleh pelaku supaya korban mau diajak melakukan tindakan asusila oleh pelaku, kemudian jadi perdagangan orang atau prostitusi,” ujar Antonius.
Aduan tentang kejahatan jalanan juga ada. Satu di antaranya adalah penganiayaan di jalanan. Misalnya karena kebut-kebutan di jalan, ada salah satu yang tersinggung kemudian terjadi penganiayaan.
Ada tiga tahap proses follow up yang dilakukan LPSK. Tahap pertama, aduan masuk. Tahap kedua, verifikasi yang dilakukan staf LPSK, memastikan bahwa pengadu sungguh-sungguh berniat untuk mengadukan apa yang dialami dan punya komitmen untuk menempuh proses hukum yang pada umumnya tidak pendek. Tahap ketiga, perlindungan.
“Pada perkara tertentu, tahapan pemrosesan tidak sepanjang itu. Bisa melalui tindakan pro aktif LPSK. Begitu menemukan informasi dari publik, LPSK bisa datang langsung untuk perlindungan darurat,” kata dia.
Kemudian untuk program pendampingan ada sepuluh. Pendampingan saksi dan korban ketika proses hukum, saat harus diperiksa polisi, dan hadir di pengadilan. Pendampingan seperti ini yang terbanyak. Tahun lalu 1.300-an lebih. Selanjutnya ada pendampingan yang memfasilitasi pemenuhan kompensasi, contohnya kasus terorisme, luka ringan berat, bahkan meninggal dunia. Terakhir program perlindungan bantuan medis misalnya untuk aduan penganiayaan yang tahun lalu mencapai 500 aduan.
Pelajaran yang bisa dipetik dari tingginya kasus aduan yaitu pandemi boleh naik kasusnya, ternyata kejahatan juga naik. Seperti kejahatan seksual pada anak. Pelakunya orang di sekitar, di dalam rumah tangga, di lingkungan, dan pada umunya pelaku adalah yang dikenal oleh korban.
Dengan banyaknya aduan yang diterima, LPSK berharap setiap insan Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan, terutama bagi orang tua yang masih punya putra-putri berusia remaja atau anak anak. “Perlu mendorong stake holder termasuk civil society, bersama meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan tindak pidana,” katanya.
Sementara itu, masih ada sejumlah perkara tak kunjung selesai karena menghadapi berbagai tantangan. Satu di antara adalah dugaan kekerasan seksual terhadap perempuan di salah satu tempat pendidikan di Jombang. Seseorang yang dinyatakan tersangka belum berhasil ditangkap oleh pihak kepolisian. “Saksi dan korban mengalami intimidasi. Saksi dan korban dilaporkan kembali oleh pihak terlapor. Entah itu pencemaran nama baik atau yang lainnya,” kata Antonius. “Kemudian untuk kasus kekerasan seksual di Batu, ada ajakan dan intimidasi untuk tidak meneruskan perkara. Perkara ini masih P19,” tambah Antonius.(iss/rst)