Hujan baru saja mengguyur Kota Malang pada Rabu (5/10/2022) sore itu. Langit terlihat murung. Udara terasa sejuk, dan angin bergelayut pelan membelai dedauan.
Di sebuah warung di pertigaan Jalan Candi Mendut, RN (52 tahun) pria kurus bertubuh jangkung, sedang bercerita pada teman-temannya. Ia merupakan saksi mata tragedi Kanjuruhan dari tribun VIP Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
“Banyak korban berjatuhan, kenapa harus di Malang? Kenapa harus ada gas air mata? Toh, sebelumnya ada suporter yang turun lapangan tapi tidak ada yang menembak gas air mata,” ucapnya kecewa. Wajahnya cemberut. Ia menyesalkan keputusan yang diambil oleh petugas keamanan malam itu.
Sepiring nasi goreng pesanannya sudah datang. Sembari melanjutkan cerita, sesekali ia menyuapkan makanannya.
“Di VIP itu nggak muat, kesalahannya panpel menurut saya. Nggak tahu berapa total lebihnya, yang jelas kalau saya mengatakan itu nggak muat,” ucapnya heran sambil mengernyitkan dahi.
Sebelumnya, memang ada isu tiket pertandingan yang dijual melebihi kapasitas. Dan isu itu menjadi perdebatan hangat pasca-tragedi Kanjuruhan.
Saat di tribun VIP, ia mengaku tidak ada masalah ketika keluar, karena jalan menuju pintu keluar lebar. Tetapi, ia menyayangkan pintu-pintu keluar di gate lain banyak yang ditutup.
Ini yang menurutnya membuat para suporter sulit keluar. Mereka berdesak-desakan dan terpaksa menghirup gas air mata yang mengepul di dalam stadion.
Ia merupakan warga asli Malang. Kecintaannya terhadap Arema sangat besar. Ia mengganggap semua Aremania adalah saudara. Baginya jika ada satu yang terluka, semua ikut terluka.
Empat hari sudah warga Malang berkabung. Ia masih tampak heran dan penasaran karena ratusan saudaranya meninggal dunia dan terluka.
“Kemarin ada yang kakinya patah satu, itu gara-gara nyelamatin anak kecil. Yang anak kecil itu, ibu sama bapaknya sudah meninggal dunia. Sekarang yang nyelamatin ada di RSSA (Rumah Sakit Saiful Anwar),” ucapnya lirih. Ia tampak sedih. Menahan emosi akan tragedi yang berlangsung setelah pertandingan pekan kesebelas liga 1 itu.
Kali ini nada ceritanya tinggi. Terdengar seperti petir. Singkat. Padat. Cepat. Menggelegar. Memikat siapa saja untuk menyimak momentum ini.
“Sebetulnya nggak perlu ada tentara di stadion itu, cukup pakai anjing pelacak. Itu sudah nggak ada yang berani. Itu cuma jaga saja, nggak gigit kok. Tapi kalau anarkis, ya seperti ini jadinya,” tegasnya.
Baginya, Aremania yang turun ke lapangan hanyalah untuk menanyakan kepada pelatih, pemain, dan juga manajemen. Tidak ada niatan untuk merusak fasilitas stadion.
“Sebetulnya itu biasa. Aremania itu biasa, kalah menang biasa. Turun untuk menanyakan kenapa kok bisa kalah? Tapi kenapa harus ada tindakan anarkis dari aparat seperti itu,” sesalnya.
“Kita nggak ngerusak kok. Kita mengakui kekalahan kok. Kemarin lawan Bandung kita kalah, ada gak kerusakan? Nggak ada. Bahkan Bandung datang ke Malang damai. Arema itu cinta damai. Kita punya prinsip, kamu baik dari kita, kita lebih baik dari kamu,” ucapnya tegas.
Ia menyayangkan tindakan represif yang telah dilakukan oleh petugas kemanan. Senada dengan seluruh suporter yang ada di Indonesia, ia menuntut agar kejadian yang membuat ratusan orang meninggal dunia dan luka-luka itu agar diusut tuntas dan dihukum sesuai dengan aturan yang ada.
Malam itu, ia bersama Aremania juga ingin segera tahu siapa yang menembak gas air mata dan siapa yang memerintah.
Ia yakin, tragedi Kanjuruhan tidak akan pernah dilupakan. Cerita akan tetap ada. Dan sejarah akan terus mencatat.
Rasa syok sekaligus aneh masih ia rasakan. Bagaimana mungkin dalam satu malam ratusan orang dapat meninggal dunia dalam satu kejadian. Dan itu di Malang. Kota tempat di mana ia tinggal dan besar.
Ketakutan juga merundung dirinya. Ia cemas jika sanksi FIFA benar-benar turun dan kompetisi Liga Indonesia dibekukan selama delapan tahun. Ini dampak dari Tragedi Kanjuruhan yang terjadi usai pertandingan Arema FC melawan Persebaya Surabaya pada 1 Oktober 2022 lalu. Saat itu Arema kalah dengan skor 2-3, kemudian terjadi kerusuhan yang telah merenggut 131 nyawa dan ratusan orang terluka.
“Saya pecinta bola, selain itu bagaimana dengan pelaku usaha? Pedagang asongan? Petugas parkiran? Terdampak berapa tahun? Ekonomi akan hancur semua!” cemasnya.
Baginya, tanggal 1 Oktober akan menjadi hari yang selalu diingat oleh ibu-ibu. Dan menurutnya, tragedi terbesar kedua di dunia itu akan menimbulkan kebencian yang teramat mendalam bagi ibu-ibu pada sepak bola.
Ia masih menunggu pengusutan benar-benar membuahkan hasil. Dan dalam kesempatan itu, ia ikut mendukung suporter seluruh Indonesia bersatu untuk kemanusiaan.
“Sudah waktunya para suporter damai, ini adalah tentang kemanusiaan,” tutupnya.(ris/dfn/ipg)