Tim penyelesaian non-yudisial pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat telah disahkan. Mahfud MD Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM (Menkopolhukam) menyampaikan bahwa tim PPHAM memiliki tugas untuk menyelesaikan 13 kasus berat di masa lalu.
Dalam kinerjanya menyelesaikan kasus HAM, Tim PPHAM menempuh jalan Nonyudisial atau di luar meja pengadilan. Tim tersebut dibentuk oleh Joko Widodo Presiden berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 17 Tahun 2022.
“Tim PPHAM juga bertugas merekomendasikan pemulihan bagi korban dan keluarga. Dan rekomendasi dalam langkah pencegahan pelanggaran HAM berat supaya tidak terulang,” kata Mahfud MD di Hotel JW Marriott, Surabaya, Minggu (25/9/2022).
Mahfud melanjutkan, dia mengatakan pembentukan PPHAM adalah wujud tanggung jawab moral dan politik kebangsaan guna mengakhiri luka bangsa demi terciptanya kerukunan dalam kehidupan bernegara.
Selain itu, Menko Polhukam juga menyebut peralihan dari era orde baru ke dalam masa reformasi menuntut ada suatu kewajiban bagi semua pihak untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sementara itu dalam 13 kasus ini antara lain adalah, peristiwa 1965-1966 pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia, lalu peristiwa Talangsari 1989, peristiwa Trisakti, peristiwa semanggi I dan II, peristiwa kerusuhan Mei 1998, lalu penghilangan orang secara paksa dalam kurun waktu 1997-1998.
Kemudian peristiwa Wasior di Wamena Papua, pembantaian massal dukun di Banyuwangi pada 1998-1999, Insiden Simpang KKA, Aceh tahun 1999, Jambu Keupok Aceh tahun 2003, peristiwa Rumah Geudong di rentang waktu 1989-1998, dan Painai Papua 2004.
Dari 13 kasus itu, Mahfud mengatakan bahwa lembaga yang memiliki kewenangan untuk menentukan suatu peristiwa merupakan pelanggaran HAM berat atau bukan itu hanya Komnas HAM.
“Yang mengatakan itu Komnas HAM berdasarkan sebuah penyelidikan dan keputusan sidang pleno,” imbuhnya.
Berdasarkan itu maka Komnas HAM menentukan saat ini masih 13 pelanggaran HAM berat yaitu 9 kasus yang terjadi sebelum keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000.
“Dan empat kasus itu terjadi setelah keluarnya UU Nomor 26 Tahun 2000. UU tersebut adalah tentang pelanggaran HAM,” ujar Mahfud.(wld/iss)