Kerja bakti itu salah satu kearifan lokal kita. Dalam terminologi teknis, umumnya mengacu pada keserempakan gerak untuk membersihkan lingkungan.
Secara filosofi, kerja bakti (baca:gotong royong) adalah ruang pertemuan gagasan untuk menjangkau kebaikan bersama…sesuatu yang mungkin mengalami pergeseran makna -dan itu lumrah dalam perspektif pertumbuhan masyarakat- tapi tidak menghilangkan core value, yakni keserempakan dan pertemuan gagasan.
Ir. Soekarno dalam sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 menyatakan, “gotong-royong adalah pembantingan-tulang bersama, pemerasan-keringat bersama, perjoangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Ho-lopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama! Itulah Gotong Royong! Prinsip Gotong Royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.”
Sudah jelaslah buat kita, gotong royong itu sudah menjadi instrumen perekat sejak lama, bahkan sebelum republik ini berdiri. Sekaligus menjadi salah satu metode menemukan kebaikan bersama yang berbasis pada egalitarianisme, kolaborasi, problem solving yang konkret, inklusif, dan berkelanjutan.
Kembali ke masa kini, nilai-nilai yang saya sebut itu sangat punya peluang untuk disemaikan lagi. Tentunya dengan pemaknaan yang kekinian. Surabaya punya masalah serius, terkait dengan potensi banjir. Topografinya yang rendah (rata-rata tiga sampai enam meter di atas permukaan laut), perubahan iklim yang mengakibatkan permukaan laut meningkat. Juga problem pandemi yang membuat dua tahun terakhir berdampak pada pengurangan anggaran pembangunan dan perawatan infrastruktur drainase.
Keuangan negara difokuskan pada penanggulangan dampak pandemi lewat refokusing anggaran dan kebijakan pengetatan transfer daerah. Praktis selama dua tahun ini, saluran-saluran kita tidak berkembang wajar seiring perkembangan kota. Itulah mengapa terjadi banjir (atau genangan😁) di pusat kota tahun lalu. Beban saluran sekunder dan primer kita mungkin sudah tidak mampu menghadapi aliran dari segala penjuru kota.
Ini bukan tidak disadari Pemkot Surabaya. Setelah kuncian mata anggaran dibuka, pertengahan tahun 2022 ini, Pemkot bergegas. Ratusan item proyek pembangunan saluran baru, sudetan, dan perawatan sistem drainase digeber. Karena itu kita warga Surabaya mungkin terheran-heran di banyak titik kemudian muncul kemacetan lalu lintas karena pembangunan gorong-gorong. Pemangku proyek berasumsi semua pekerjaan sudah selesai saat puncak musim hujan, Januari-Februari tahun depan tiba.
Tapi alam berkehendak lain. BMKG pada pertengahan September 2022 lalu merilis analisis cuaca mereka, musim hujan datang lebih cepat. Akhir September 2022 sudah mulai datang musim hujan, bahkan di sejumlah wilayah berintensitas sedang-deras. Kondisi ini membuat Pemkot Surabaya mau tidak mau, harus mempercepat pekerjaan mereka.
Apakah dengan percepatan proyek itu masalah selesai? Tidak juga. Berdasarkan pengalaman tahun-tahun sebelumnya, problem banjir di Surabaya diantaranya juga disumbang oleh saluran tersier yang tersumbat. Alhasil, saluran sekunder dan primer tidak bisa menjalankan fungsinya optimal. Sumbatannya tergolong “ajaib”. Masih ditemukan sampah berupa kasur, bantal, guling, bahkan barang-barang besar seperti lemari kayu yang sudah jadi serpihan.
Agus Hebi Djuniantoro Kepala Dinas Lingkungan Hidup Pemkot Surabaya pernah bilang ke saya, “musim hujan di Surabaya ini kesempatan untuk membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai di rumah. Dibuangnya ke saluran air karena anggapan mereka akan kintir dan ditangkap oleh petugas pemkot di titik-titik penangkapan sampah”.
Fenomena ini harus dicarikan solusi lebih komprehensif. Yang pertama, soal budaya membuang sampah. Sebenarnya warga kota ini sudah teredukasi dengan baik sejak jaman walikota Bambang D.H. Kita bisa melihat hasilnya sekarang dikomparasi dengan masa lalu. Tapi ada hal-hal yang belum tersentuh menyangkut aspek lebih oportunistik.
Pemkot dan komunitas kota ini belum mampu menyediakan kanal untuk mengelola sampah-sampah “ajaib” ini secara berkelanjutan. Mungkin ada, tapi sulit menjangkaunya dan sosialisasi yang minim. Kedua, tentang pelibatan para stakeholder kota lebih luas dan strategis dalam memecahkan masalah ekologi ini.
Kerja bakti dalam semangat gotong royong lah yang jadi cara konkret kita menyelesaikan permasalahan kota. Ancaman banjir menjadi pintu masuk, sedangkan pintu keluarnya adalah kolaborasi stakeholder. Pemerintah tidak bisa sendirian, civil society juga tidak bisa sendirian bergerak. Dalam beberapa masalah, perlu ada kerja sama untuk menyelesaikan.
Surabaya Bergerak sebenarnya bukan sekadar kerja bakti atau gotong royong membersihkan saluran air. Ini tentang bagaimana kita selaku stakeholder kota mampu menyampaikan gagasan untuk bergerak bersama menjadikan kota ini semakin nyaman untuk kita huni dan beraktifitas.
Eddy Prastyo
Pimred Suara Surabaya Media