Rekam medis pasien mulai beralih menjadi berbasis elektronik dengan diterbitkannya Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) nomor 24 tahun 2022 tentang Rekam Medis. Melalui kebijakan ini, fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes) diwajibkan menjalankan sistem pencatatan riwayat medis pasien secara elektronik. Proses transisi dilakukan sampai paling lambat 31 Desember 2023.
Menurut Esti Nugraheni pengajar di Stikes Yayasan RSUD dr Soetomo Surabaya, mengubah sistem rekam medis dari manual ke e-RM (elektronik rekam medis) tidak bisa serta merta dilakukan, terlebih ini berkaitan dengan kemampuan budaya tenaga kesehatan di Indonesia.
“Dalam menuju e-RM ini tidak bisa simsalabim, tenaga kesehatan yang berhak pegang pasien punya kontribusi untuk mengisi rekam medis dan untuk menuju elektronik yang berhubungan dengan gadget belum sesederhana itu untuk turning them karena kemampuan budaya,” ujar Esti saat berbincang dalam program Semanggi Suroboyo di Radio Suara Surabaya, Jumat (2/12/2022).
Sehingga hal yang bisa dilakukan untuk menuju e-RM ini salah satunya adalah mengantisipasi error atau kesalahan.
Seperti yang terjadi di RSUD dr Soewandhie beberapa waktu lalu. Eri Cahyadi Wali Kota Surabaya yang inspeksi mendadak (sidak) ke rumah sakit itu mendapati ada pasien di klinik ortopedi yang tidak kunjung terlayani hingga siang hari padahal sudah datang sejak pukul 08.00 WIB.
Melihat kekacauan itu, Eri memanggil dr. Billy Daniel Mesakkh Direktur RSUD Dr. Mohamad Soewandhie Surabaya dan mengecek langsung ruangan penyimpanan data rekam medis.
Buruknya sistem manual yang dijalankan belasan nakes di ruangan itu turut dievaluasi Eri. Tumpukan berkas dinilai tidak urut, sehingga menambah panjang lama daftar antrean pasien.
Billy Daniel Messakh Direktur RSUD Dr. Mohamad Soewandhie Surabaya mengakui, pasien tersebut tidak kunjung dipanggil karena rekam medisnya ‘ketlisut’ sehingga didahului pasien lain hingga dua jam karena petugas tidak bisa segera menemukan data riwayatnya.
“Waktu dia datang, kita cari nggak ketemu rekam medisnya, ini yang menyebabkan yang ada duluan kita layani,” ujarnya dalam program yang sama.
Ia melanjutkan, status pasien tersebut adalah pasien BPJS sehingga datanya juga bergerak ke tim klaim.
“Indikator masing-masing unit sudah dibuat, contohnya status 1 x 24 jam harus balik ke rekam medis itu standarnya. Ini yang dilanggar jadi memang kita ada salahnya di situ, sehingga pasien ibu yang menunggu itu jadi lama,” jelas Billy.
Billy turut mengakui sistem yang masih manual ini rawan menimbulkan masalah serupa.
“Apakah tiap hari? Ya nggak juga. Ada waktu yang kita sebenarnya bisa mempersiapkan seperti ini, apabila bukan pasien kronik yang tidak perlu terlalu tahu tahu kita bisa ganti dengan status baru, Kalau kronis kita perlu lihat historinya dia dari status pasien,” ujarnya.
Sehingga ke depannya ia berjanji akan melakukan transformasi sistem antrean di rumah sakit yang dipimpinnya itu.
Sementara Nanik Sukristina Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Kota Surabaya menjelaskan, dalam masa transisi ini e-RM baru bisa diterapkan pada pasien baru. Sehingga dalam kasus RSUD dr Soewandhie ini, pasien-pasien lama data rekam medisnya masih manual.
“Sudah diterapkan (e-RM) tapi masih bertahap. Masih pada tahap belum dijalankan optimal, secara perlahan bisa segera percepatan untuk dibikin sesuai sistem” jelas Nanik. (dfn/ipg)