Berdasarkan data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) nilai Ujian Nasional (UN) mata pelajaran bahasa Indonesia dari tahun 2016 ke 2017 mengalami penurunan. Dari rata-rata nilai 70,75 menjadi 64,32. Hasil tersebut menujukkan bahasa Indonesia masuk daftar pelajaran yang sulit di sekolah.
Maria Mintowati Dosen Bahasa Indonesia Universitas Negeri Surabaya (Unesa) mengatakan terdapat dua faktor penyebab nilai siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia rendah.
“Yang pertama sikap meremehkan bahasa Indonesia, baik orang tua maupun siswa. Misalnya ketika ujian, jadwalnya adalah bahasa Indonesia dan Matematika. Orang tua akan cenderung menyuruh anaknya belajar Matematika dulu baru setelah itu bahasa Indonesia,” jelasnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (9/11/2022).
Dia melanjutkan, faktor kedua yakni keengganan anak untuk membaca teks secara cermat.
“Anak enggan membaca teks, jadi mereka tidak membaca dengan cermat dan dengan waktu yang cepat. Perlu kecermatan dalam bahasa indonesia misalnya soal bentuk kata yang baku, seperti apotik atau apotek, antrian atau antrean,” ujar Maria.
Maria memaparkan, bahasa Indonesia memiliki dua kedudukan, pertama sebagai bahasa nasional dan kedua sebagai bahasa negara. Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara berfungsi sebagai alat pengembang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi.
“Jika sudah mengetahui penggunaan kata baku, lanjutnya, lalu diterapkan dalam ilmu pengetahuan maupun kehidupan sehari-hari, sehingga itu termasuk bersikap positif terhadap bahasa Indonesia,” imbuhnya.
Menurut Maria, berbagai upaya telah dilakukan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa untuk meningkatkan peran bahasa Indonesia sebagai ilmu pengetahuan.
“Dengan cara seperti menyerap berbagai istilah untuk mewadahi pengembangan Iptek yang begitu pesat. Sekarang tergantung pemilik atau penutur bahasa Indonesia, mau bersikap positif atau tidak pada Bahasa Indonesia. Jika penutur ada sikap positif pasti ada rasa bangga dan rasa loyal terhadap bahasa Indonesia,” tuturnya.
Maria berpesan kepada masyarakat, jadilah penutur bahasa Indonesia yang memiliki sikap positif dan memiliki rasa bangga terhadap bahasa Indonesia.
“Gunakanlah bahasa Indonesia sesuai konteks. Ketika situasi resmi gunakanlah bahasa Indonesia yang standar, tetapi dalam konteks keseharian atau tidak formal gunakanlah bahasa Indonesia sehari-hari,” katanya.
Sedangkan untuk guru bahasa Indonesia, tambahnya, harus mampu membangkitkan semangat nasionalisme siswa melalui cinta terhadap bahasa Indonesia.
“Untuk guru harus berkompetensi, baik kompetensi profesional maupun pedagoginya. Serta harus menguasai bahan ajar dan mampu menggunakan media yang tepat,” pungkas Maria.(gat/iss)