Ray Rangkuti Direktur Lingkar Madani (Lima) mengapresiasi prinsip Puan Maharani Ketua DPR RI yang mengedepankan kualitas legislasi, ketimbang banyaknya undang-undang yang berhasil disahkan.
Menurutnya, penyataan itu bisa jadi merupakan bentuk autokritik atas intitusi DPR.
Untuk membuktikannya, dia menantang Puan untuk memastikan undang-undang yang dihasilkan DPR periode 2019-2024 bermutu secara kualitas, prosedural, dan kuantitas.
“Tentu saja bagus prinsip itu. Itu yang harus menjadi fokus utama Puan ke depan karena memang itu yang diharapkan publik. Tapi, apakah pernyataan itu semacam autokritik sebagai stretegi Puan mengembangkan peran dewan di masa akan datang dengan membenahi tiga persoalan dalam legislasi ini atau apa? Kita tunggu saja realisasinya,” ujarnya di Jakarta, Jumat (29/4/2022).
Terkait produk legislasi, UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan Ketua DPR RI tanggal 14 April 2022, mendapat apresiasi positif dari banyak kalangan dan dinilai sebagai salah satu keberhasilan DPR dalam menggodok UU.
Menurut Ray, pernyataan Puan juga tidak bisa dialamatkan secara sempit pada UU TPKS.
“Kalau untuk itu saja ya menurut saya sangat sempit, seharusnya untuk keseluruhan produk undang-undang di DPR,” imbuhnya.
Sementara itu, Lucius Karus Peneliti Forum Masyarakat Perduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengungkapkan, Puan seharusnya punya sikap dan respons yang sama pada sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang sejak lama ditunggu publik, bukan hanya UU TPKS.
“UU TPKS tentu sangat penting, tetapi RUU yang dibutuhkan publik itu tidak hanya RUU TPKS. Masih ada RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Penanggulangan Bencana, dan lain-lain. Penghormatan terhadap rakyat jangan pilih-pilih. Semua yang jelas dibutuhkan itu mesti bisa dikerjakan tepat waktu oleh DPR,” katanya.
Lucius mengungkapkan jika yang dimaksud pengesahan RUU TPKS bisa menjawab aspirasi dan kebutuhan hukum publik terkait penegakan kasus kekerasan seksual, maka akan sangat diapresiasi. Tetapi, hal itu tidak berarti proses RUU TPKS hingga disahkan menjadi UU TPKS tanpa kekurangan.
Peran publik, lanjut dia, sangat penting dalam pengesahan RUU TPKS. Kalau publik tidak terus-menerus menekan DPR agar segera mengesahkan RUU TPKS, mungkin sampai sekarang UU TPKS tidak juga tuntas dibahas.
Lucius menambahkan, Puan tidak cukup berperan dalam UU TPKS karena terlihat baru mulai sangat peduli pada fase akhir.
“Tentu saja dia sebagai Ketua DPR punya kuasa yang besar untuk mendorong proses yang cepat kalau kemauan politik itu memang tulus. Tetapi, saya lihat respons Puan lebih terlihat sebagai langkah politik memanfaatkan RUU TPKS yang memang ditunggu-tunggu publik,” tukasnya.
Sebelumnya, Puan Maharani mengingatkan para Anggota DPR RI tolok ukur program legislasi yang dirumuskan DPR bukan berdasarkan banyaknya undang-undang yang dihasilkan, tapi dari kualitasnya.
Pernyataan itu konsisten disampaikan legislator PDI Perjuangan tersebut sejak dilantik bulan Oktober 2019.
“Membuat undang-undang itu tidak bisa sembarang. Tidak bisa sekadar memasang target jumlah 100 atau 200 UU. Namun, yang jauh lebih penting adalah UU itu dibahas dengan mekanisme yang benar serta memberikan manfaat yang besar untuk masyarakat. Kerja legislasi DPR tidak hanya sekadar kuantitas, tapi soal kualitas,” ucap Puan. (rid/bil)