Sabtu, 23 November 2024

Psikiatri: Legalisasi Ganja Medis Sulit Selama Masih Narkotika Golongan Satu

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi. Foto: Havard Edu

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) saat ini masih mengkaji rencana legalisasi ganja medis. Menanggapi hal itu dr. Soetjipto, dokter Divisi Psikiatri Adiksi di Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) menyebut bahwa tidak perlu tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

“Sebagian negara mungkin sudah banyak yang melegalkan pemakaian ganja medis. Namun, belum dengan Indonesia. Karena perlu memperhatikan banyak faktor, misalnya terkait dengan Undang-Undang Narkotika,” ujar dokter Tjipto dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net, Kamis (14/7/2022) pagi.

Indonesia sendiri menetapkan ganja sebagai narkotika golongan satu, yang berarti hanya boleh dipergunakan untuk penelitian. Demikian dengan ganja medis, belum mendapat izin sebagai sarana pengobatan.

Berdasar hasil penelitian, ganja medis dapat berperan sebagai alternatif terapi atau pengobatan bagi beberapa penyakit. Di antaranya, glaukoma, osteoporosis, diabetes melitus, kanker, hipertensi, bahkan dapat mengatasi kejang bagi pasien cerebal palsy. Untuk itu, dr Tjipto menyarankan ganja medis dapat diturunkan golongannya menjadi narkotika golongan dua atau tiga agar dapat menjadi sarana terapi atau pengobatan.

“Meskipun nantinya boleh dapat bermanfaat sebagai obat, penggunaannya juga perlu pengawasan yang ketat. Jika ingin menggunakan harus melalui tenaga medis yang memang sudah terlatih. Jadi,  ketika sudah legal, tetap penggunaannya tidak bisa semena-mena,” terang dr Tjipto.

Pengawasan penggunaan oleh tenaga medis juga dapat meminimalkan efek samping yang timbul, terutama terkait takaran atau dosis yang tepat bagi pasien. Sehingga ganja tersebut juga tidak akan disalahgunakan dan menyebabkan kecanduan.

“Kalau penduduk atau masyarakat di negara ini sudah kecanduan ganja semuanya, ini akan mengganggu stabilitas negara. Hal itu berkaca dari bangsa lain yang kacau karena bermula dari maraknya penyalahgunaan zat-zat psikoaktif tersebut. Untuk itu kalaupun ganja medis akan dilegalkan untuk terapi, pemerintah perlu membuat aturan yang melindungi masyarakat dari penyalahgunaan pemakaiannya,” jelasnya.

Di sisi lain, dr. Tjipto menerangkan jika ganja medis berbeda dengan ganja yang selama ini disalahgunakan untuk rekreasi, sehingga relatif aman untuk pengobatan.

Pada ganja medis terkandung zat cannabidinol (CBD) yang dapat menjadi obat untuk terapi bagi berbagai macam penyakit. Sedangkan ganja rekreasional memiliki kandungan tetrahidocannabinol (THC), yang membuat penggunanya merasakan sensasi “high” atau “fly.”

“Selain itu, pemakaian ganja rekreasional yang memang tidak ada pengawasan dari tim medis sehingga dapat menimbulkan berbagai gangguan kesehatan. Misalnya infeksi paru-paru, serangan jantung, peradangan saluran pernafasan, lambat berpikir, hingga memicu munculnya gangguan bipolar,” pungkasnya.

Polemik legalisasi ganja medis untuk pengobatan juga mendapat tanggapan Prof Apt. Zullies Ikawati Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik Universitas Gajah Mada (UGM). Dia mengungkapkan tidak setuju terkait upaya legalisasi tersebut, meskipun dengan tujuan medis.

Sebab, menurutnya ganja yang digunakan dalam bentuk belum murni seperti simplisia atau bagian utuh dari ganja masih mengandung senyawa utama THC yang bersifat psikoaktif.

“Ganja sebagai tanaman dan bagian-bagiannya mestinya tetap tidak bisa dilegalisasi untuk ditanam dan diperjualbelikan karena masuk dalam narkotika golongan satu,” kata Zullies, Kamis (7/7/2022).

Dia menyampaikan, jika yang dapat dilegalkan atau diatur adalah senyawa turunan ganja seperti cannabidiol yang tidak memiliki aktivitas psikoaktif. Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat dan bisa masuk dalam narkotika golongan dua atau tiga.

Ia mencontohkan pada penggunaan ganja medis dari obat-obatan golongan morfin, yang berasal dari tanaman opium dan menjadi obat legal selama melalui resep dokter. Biasanya, obat tersebut digunakan dalam pengobatan nyeri kanker yang sudah tidak merespon lagi terhadap obat analgesic lainnya.

Meski demikian, opium tetap masuk dalam narkotika golongan satu karena berpotensi penyalahgunaan yang besar, demikian halnya dengan tanaman ganja. Sementara itu senyawa ganja lainnya yakni cannabidiol (CBD) yang memiliki efek anti kejang, tetapi tidak bersifat psikoaktif. (bil/rst/\)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs