Jumat, 22 November 2024

Prof Bagong: Efek Harga BBM Naik Akan Munculkan Orang Miskin Baru

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair). Foto: Humas Unair

Harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dan non-subsidi resmi mengalami kenaikan pada Sabtu (3/9/2022) yang diumumkan langsung oleh Joko Widodo Presiden di Istana Merdeka, Jakarta.

Prof Dr Bagong Suyanto Drs MSi Sosiolog dari Universitas Airlangga (Unair), menyebutkan bahwa fenomena gejolak penolakan yang dilakukan masyarakat lumrah terjadi. Ia melihat, pemerintah sudah memahami hal tersebut dengan baik, termasuk dampak sosial dari keputusan yang tidak populer tersebut.

“Efek domino kenaikan harga BBM ini kan memicu juga rentetan kenaikan barang kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat. Jadi wajar kalau muncul kekhawatiran dan ketidakpuasan kalau kenaikan harga BBM menimbulkan tekanan sosial baru,” ujarnya Selasa (13/9/2022).

Hal tersebut terlihat dari Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang langsung digencarkan. Menurutnya, hal itu merupakan upaya pemerintah agar tekanan sosial yang terjadi tidak terlalu besar.

“Yang dikhawatirkan, program bansos tidak banyak berdampak, karena logika pemerintah kayaknya membayangkan kalau masyarakat itu kondisi ekonominya nol, lalu diberi Rp600 ribu, dan katakanlah plus Rp600 ribu. Tapi masalahnya, bagaimana kalau masyarakat minus?” tambah Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unair tersebut.

Selain masalah distribusi, ia juga menilai distribusi bansos yang tepat sasaran belum tentu tepat manfaat. Apalagi, dampak sosial dari kenaikan harga BBM tersebut akan meningkatkan golongan orang miskin baru.

“Untuk kelompok yang kita sebut sebagai kelompok near poor, dekat dengan kemiskinan, gejolak harga membuat mereka bukan tidak mungkin akan menjadi orang miskin baru. Tentunya banyak masyarakat yang harus beradaptasi dengan kondisi tersebut,” ucapnya.

Di sisi lain, pada dasarnya, stimulus pemberian subsidi tidak selamanya baik apabila dilakukan secara berlebihan. Hal tersebut akan membuat masyarakat ketergantungan, sehingga ketika subsidi dikurangi atau dicabut, mereka akan merasakan kehilangan atas apa yang dinikmatinya selama ini.

“Pemerintah sebaiknya tidak banyak pada bantuan yang sifatnya karitatif ya. Tapi pada bantuan yang lebih memberdayakan dan kebijakannya jangan seperti pemadam kebakaran yang menunggu apinya menyala, baru dimatikan,” pungkasnya.

Pada akhir, ia berpesan, hendaknya masyarakat melakukan diversifikasi usaha dan tidak berpatokan pada pekerjaan pokok. Menurutnya, pekerjaan pokok gampang sekali terombang-ambing dengan regulasi yang ada.

“Bagaimana masyarakat diajari, didorong untuk memperkuat penyanggah ekonomi keluarga. Bukan membesarkan ekonomi pokok karena kalau kolaps maka kolaps ekonomi keluarga itu. Tapi kalau pemasukannya banyak, mereka akan lebih banyak menghadapi tekanan,” tutupnya. (dfn/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
36o
Kurs