Doni Koesoema, pemerhati pendidikan, mengkritisi sejumlah hal yang membuka peluang suap dalam proses penerimaan mahasiswa baru (PMB) di perguruan tinggi negeri (PTN) berbadan hukum. Mulai dari persentase daya tampung mahasiswa jalur mandiri yang terlalu besar, tidak adanya transparasi dan akuntabilitas dana pengembangan PTN, sampai perlunya reformasi dan transformasi perguruan tinggi.
Doni menjelaskan, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 6 Tahun 2020 mengatur tiga jalur PMB yaitu jalur undangan, SBMPTN, dan jalur mandiri. Daya tampung mahasiswa di PTN berbadan hukum untuk masing-masing jalur yaitu 20 persen jalur undangan, 30 persen SBMPTN, dan 50 persen jalur mandiri.
“Jalur mandiri dipakai untuk yang tidak lolos jalur pertama dan kedua. Yang membedakan tiap jalur adalah biaya. Jalur mandiri pembiayaannya lebih besar dibanding reguler,” kata Doni dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (23/8/2022).
Besarnya biaya masuk jalur mandiri, kata Doni, akan dipakai untuk pengembangan kampus. Sebab, PTN berbadan hukum harus mencari biaya sendiri meskipun masih dibantu pemerintah. Rektor PTN berbadan hukum memang harus punya inovasi untuk membiayai kampus agar tak hanya mengandalkan dana dari jalur mandiri.
“Kasus di Universitas Lampung, calon mahasiswa sudah daftar jalur mandiri, sudah menulis jumlah kesanggupan membayar, ada oknum yang memanfaatkan. Jika membayar lebih tinggi akan diterima. Celah seperti ini yang seharusnya ditutup pemerintah,” ujarnya.
Daya tampung jalur mandiri sebesar 50 persen dari total mahasiswa baru tersebut masih bisa bertambah karena jika kuota jalur undangan tidak terpenuhi, dialihkan ke SBMPTN. Jika SBMPTN tidak terpenuhi, dialihkan ke jalur mandiri.
“Pendaftar jalur mandiri yang diterima, yang membayar lebih tinggi. Jadi peluang kampus mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya dari masyarakat. Kampus jadi terkapitalisasi,” ujarnya.
Menurut Doni, persentase daya tampung jalur mandiri terlalu besar sehingga membuka peluang untuk praktik korupsi. “Harus diperkecil, misal lima persen saja. Jadi hanya yang pintar dan mampu membayar yang bisa masuk lewat jalur mandiri. Jalur tulis atau SBMPTN harus diperbanyak karena lebih objektif,” kata dia.
Selain memperkecil kuota jalur mandiri, harus ada inspektorat yang mengawasi transparansi dan akuntabilitas PTN berbadan hukum. “Seharusnya ada dewan pendidikan nasional yang dibentuk untuk mengawal hal seperti ini. Sekarang tidak ada. Adanya dewan pendidikan kabupaten kota. Itu pun ada yang dimatikan kepala daerah,” ujarnya.
Terkait akuntabilitas, saat PTN mendapatkan dana, akan dihitung dalam laporan dan dijadikan pendapatan negara bukan pajak. Kemudian PTN berbadan hukum akan mengajukan pembiayaan program kepada pemerintah. Doni menyayangkan sampai saat ini belum ada lembaga independen yang meng-audit keuangan internal kampus.
Penanganan praktik korupsi di kampus dapat diatasi jika masyarakat yang dirugikan melaporkan ke polisi, wartawan melakukan riset dan membuka ke publik.(iss/rst)