Kejahatan di dunia maya (cyber crime) terus meningkat, sementara pengungkapan kasus penipuan via online ini cenderung jalan di tempat, bahkan sulit dilakukan. Utamanya kejahatan cyber dengan modus social engineering atau rekayasa sosial. Polisi menyebut, itu karena faktor kecepatan.
Saat kasus dilaporkan, saat itu juga pelaku sudah menguras uang korban, polisi sulit melacak karena pelaku sudah menghapus jejak digitalnya dengan cepat, sementara perbankan juga tidak bisa berbuat banyak, karena transaksi tersebut sudah akurat berdasarkan data nasabah yang bobol ke tangan pelaku.
“Semuanya serba cepat, setelah menipu korbannya, pelaku langsung memindahkan ke rekening penampung secara cepat, kemudian dilakukan pemindahan atau pengambilan dana secara cepat. Mereka ini menggunakan rekening fiktif sebagai rekening penampung. Selain itu dengan panjangnya birokrasi, kami harus koordinasi dengan provider, dan perbankan, dan itu butuh waktu yang tidak singkat,” kata Kompol Haryanto Kanit 3 Cyber Polda Jawa Timur (Jatim) pada Radio Suara Surabaya, Senin (11/7/2022).
Sejauh ini, pihak bank akan memberikan data tentang aliran transaksi pelaku paling cepat sehari.
“Peluang pengembalian uang korban sangat kecil, meski si pelaku sudah berhasil ditangkap, pelaku juga bisa berada dimana saja sehingga melacaknya pasti tidak mudah. Apalagi biasanya setelah berhasil melakukan penipuan, pelaku langsung menghapus jejak digitalnya,” jelasnya.
Dari kasus penipuan cyber yang berhasil diungkap, kata Haryanto, seringkali melibatkan pelaku warga asing, diantaranya dari Eropa Timur, yang bekerja sama dengan jaringan penipu asal Indonesia. Sedangkan pelaku selalu menggunakan rekening fiktif untuk melancarkan aksinya.
Kanit 3 Cyber Polda Jatim menjelaskan, jika keberadaan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), serta Undang-Undang Perbankan juga menjadi salah satu faktor polisi mengalami kesulitan untuk mengungkap kasus-kasus serupa. Hal ini sekali lagi dikarenakan panjangnya proses birokrasi yang harus dilalui.
“Belum ada regulasi terbaru untuk kasus seperti ini. Kalau di negara maju, aturannya sudah lebih berkembang dari pada di Indonesia, “ujarnya.
Menurut dia, Polda Jatim sudah berusaha menanggapi laporan masyarakat yang hampir ada setiap hari. Kepolisian membutuhkan kerjasama banyak pihak, terutama masyaraakat agar lebih aware (hati-hati) dengan penggunaan teknologi, khususnya yang berkaitan dengan data pribadi. Hal ini dikarenakan pelaku penipuan, seringkali mempelajari kebiasaan targetnya secara detail sebelum melancarkan aksinya.
“Pelaku mempelajari perilaku calon korbannya, baik dari aktivitas handphone seperti medsos dan aktivitas di banknya. Biasanya, modus pelaku itu mengaku sebagai pegawai bank untuk menawarkan tawaran yang menggiurkan,” paparnya.
Kompol Haryanto mengungkapkan, pada tahun 2021 pihaknya sudah menerima 408 laporan kasus penipuan cyber. Sementara untuk tahun 2022, sepanjang bulan Januari hingga July, total sudah ada 202 laporan yang masuk.
Dia kembali mengimbau masyarakat agar tidak mudah terpancing atau termakan jebakan pelaku penipuan, terutama dengan sebuah pesan yang meminta kita untuk mengisi data pribadi. Polda Jatim melalui tim Cyber, juga menyediakan layanan konsultasi dan pengaduan, bisa dengan langsung datang ke kantor Ditreskrimsus maupun melalui nomor 08119971996.
Pada kesempatan yang sama, Dedy Patria Direktur Pengawasan Lembaga Jasa Keuangan II dan Manajemen Strategis Kantor Regional IV Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Jatim mengatakan, jika pihak perbankan tidak bisa langsung begitu saja melakukan pemblokiran pada rekening fiktif pelaku penipuan. Hal ini dikarenakan kebanyakan pelaku, membuat rekening fiktif tersebut menggunakan data pribadi orang lain.
“Bisa jadi yang digunakan itu data pribadi milik korban sebelumnya. Karena itu Perbankan tidak bisa langsung blokir begitu saja,” jelasnya.
Dedy menjelaskan, jika selama ini OJK sudah melakukan langkah preventif berupa sosialisasi melalui media sosial untuk mengingatkan masyarakat, potensi terjadinya penipuan jika tidak aware dengan keamanan data pribadi. OJK baru bisa mengambil langkah preventif karena jika sudah terjadi tindak pidana penipuan, maka hal tersebut merupakan ranah penegak hukum (Kepolisian).
“Memang masalah kecepatan tadi karena panjangnya birokrasi yang harus dilewati. Tapi kita selalu koperatif untuk membantu penegak hukum menyelesaikan permasalahan ini secepatnya,” jelasnya. (bil/rst)