Ardyan Prima Wardhana Dokter Spesialis Anastesi sekaligus Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan bahwa penyebab kematian akibat kerumunan massa adalah himpitan pada ruangan yang sempit dan tertutup.
“Ketika manusia terhimpit, dia seperti orang tercekik dan tidak bisa bernapas. Lalu dia bisa lemas dan pingsan akibat kekurangan oksigen. Kalau dibiarkan dalam waktu yang lama dapat berujung ke kematian,” tuturnya dalam keterangan pers yang diterima suarasurabaya.net, Rabu (9/11/2022).
Ardyan memberikan panduan pertolongan pertama yang bisa dilakukan masyarakat apabila menemui seseorang yang tak sadarkan diri akibat henti napas di tengah kerumunan, yaitu korban harus dipindahkan ke lingkungan yang memiliki udara bebas jauh dari keramaian dan dibandingkan di permukaan datar. Setelah itu, segera lakukan pengecekan respon terhadap orang yang ditolong. Hal pertama yang dicek adalah jalan napas dan napas korban. Caranya yakni mengangkat dagu pasien lalu rasakan dan dengarkan hembusan napas yang keluar dari hidung atau mulutnya.
“Adanya hembusan napas juga dapat terlihat dari dada atau perut pasien yang terangkat. Bila tidak ada hembusan napas dalam 5-10 detik, maka perlu mencari bantuan medis,” lanjutnya.
Selagi menunggu tenaga medis datang, penolong harus segera melakukan cardiopulmonary resuscitation (CPR). CPR dapat membantu memperbesar peluang keselamatan pasien.
“Adapun tahapan yang dilakukan dalam CPR yang pertama letakkan pangkal telapak tangan dominan bagian bawah di tengah dada lalu kunci dengan jemari tangan lainnya,” ujarnya.
Ia mengatakan bahwa secara spesifik, untuk pria letaknya di pertemuan garis yang menghubungkan puting susu dengan tengah dada, sedangkan wanita ditarik garis lurus dari pangkal ketiak ke tengah dada.
“Kemudian, berikan pijat jantung sebanyak 30 kali dengan kecepatan 100 kali per menit (atau sekitar 3-4 tekanan setiap 2 detik). Tangan harus lurus dengan bahu dan sejajar dengan tangan. Ketika melakukan kompresi, badan harus condong ke pasien dan gerakan dilakukan dari panggul untuk mengurangi rasa lelah,” sambungnya.
Setelah itu lanjut dengan memberikan napas buatan dengan cara menjepit hidung pasien lalu meniupkan udara dari mulut sebanyak dua kali. Teknik dikatakan tepat apabila dada fase yang terangkat saat diberi napas buatan.
“Ulangi kembali pemberian CPR dengan perbandingan 30 pijat jantung : 2 napas buatan,” imbuhnya.
Ardyan mengatakan bahwa kesalahan yang sering terjadi adalah kecepatan pijat jantung yang terburu-buru sehingga melebihi dari yang dibutuhkan serta penolong yang enggan untuk memberikan bantuan napas dari mulut ke mulut.
“Kalau seperti itu, penolong lebih baik tetap menolong dengan pijat jantung daripada tidak sama sekali,” tegasnya.
Sebagai informasi, CPR boleh dihentikan ketika pasien sudah mulai bernapas atau ada instruksi dari tim medis untuk berhenti, karena CPR hanya sebagai pertolongan pertama.
“Walaupun hanya bersifat sebagai pertolongan pertama namun penting bagi masyarakat untuk memahami agar dapat menyelamatkan nyawa orang lain di tengah kondisi darurat,” pungkasnya.(rum/ipg)