Usulan pemungutan suara lewat internet (e-Voting) yang diusulkan Johnny G. Plate Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) pada Pemilu 2024, memicu banyak reaksi publik.
Sistem pemungutan suara Pemilu melalui e-Voting diketahui sudah diterapkan oleh sejumlah negara. Menurut Johnny, sistem ini akan bermanfaat dalam rangka efektivitas dan efisiensi proses, mulai dari tahapan pemilih sampai transmisi dan tabulasi hasil pemilu.
“Jadi sistem e-Voting ini bukan hal baru, termasuk Komisi Pemilihan Umum ini sudah lama juga menyiapkannya,”jelas Johnny dalam siaran pers, Rabu (23/03/2022).
Usulan Menkominfo tersebut banyak mengundang opini dan kritik, dari masyarakat. Banyak yang menganggap potensi kecurangan semakin besar jika nantinya harus menggunakan metode digital tersebut.
“Pemilu kita kan sering ada sengketa. Gimana kita bisa buktikan kalau bukti fisiknya saja tidak ada,” ujar Yusuf pendengar SS pada Kamis (7/4/2022).
Sementara itu, ada juga yang beranggapan metode ini bisa lebih menghemat anggaran dan lebih praktis.
“ini memang sudah seharusnya sih, karena bisa memudahkan semua orang untuk memilih di mana saja tanpa harus ke lokasi pencoblosan,” ucap Nyono Sugiarto pendengar SS.
Menanggapi hal ini, Heroik M. Pratama Peneliti Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) pada Radio Suara Surabaya, Kamis (7/4/2022) mengatakan, wacana e-Voting sebenarnya bukan hal baru mengingat pada pilkada serentak 2017 sampai pemilu 2019 juga sudah dikemukakan.
Meski demikian, perlu diingat bahwa penggunaan e-Voting belum tentu bisa menjawab permasalahan pemungutan suara. Tingginya jumlah surat suara yang tidak sah juga tidak semerta-merta membuat pemungutan suara harus dilakukan dengan e-Voting.
Surat suara yang tidak sah pun biasanya dipengaruhi oleh 2 hal, yakni dari faktor pemilih sendiri dan tidak dikenalinya calon pasangan atau individu yang akan dipilih. Peralihan ke e-Voting dinilai belum bisa mengatasi masalah tersebut.
“KPU saja tidak merekomendasikan penggunaan e-Voting, karena masalah yang muncul justru kebanyakan pada saat penghitungan suara di TPS,” terang Pratama.
Terkait pengawasan dan transparasi penghitungan suara, Pratama menjelaskan, jika masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan untuk datang ke TPS pada jam 1 siang untuk menyaksikan proses penghitungan suara. Hal tersebut juga merupakan salah satu bentuk pengawasan dalam demokrasi.
Perlindungan dan kerahasian data para pemilih juga menjadi pertimbangan untuk menggunakan metode e-Voting ini. Sementara itu, banyak negara yang sebelumnya menggunakan sistem digital tersebut, kini beralih kembali menggunakan metode manual.
“Jerman dulu sudah pakai e-Voting. Kemudian ada putusan Mahkamah Konstitusi yang memutuskan untuk kembali menggunakan manual. Kenapa? karena ada trust isue terhadap e-Voting,” tambah Pratama.
Sementara itu, terkait sengketa penghitungan suara yang sering terjadi pada tingkat kabupaten/kota maupun kecamatan, KPU telah mengusulkan penggunaan rekapitulasi elektronik (e-Rekap) lewat apliaksi Sirekap pada pemilu mendatang.
“Kpu sudah menyiapkan sistemnya, dan saya yakin itu sangat membantu karena lebih tepat. Meski demikian perlu diingat jika penggunaan e-Rekap ini tidak sepenuhnya mengganti rekapitulasi manual,” ucapnya.
Peneliti Perludem ini juga menyampaikan, pergantian metode perhitungan dengan menerapkan teknologi harus ada batas waktu dan dilakukan secara bertahap. Evaluasi dan kepercayaan publik harus jadi acuan utama sebelum benar-benar dilaksanakan.
“Idealnya harus ada uji coba, bisa jadi di uji dari tingkat kabupaten/kota dulu. e-Rekap saja sistemnya sudah diuji coba sejak 2014,” pungkasnya. (bil/rst)