Jumat, 22 November 2024

Peraturan Menag Soal Penanganan Kekerasan Seksual Harus Adil dengan Pendekatan Agama

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Hidayat Nur Wahid Wakil Ketua MPR RI Foto: Faiz suarasurabaya.net

Hidayat Nur Wahid (HNW) Anggota DPR sekaligus Wakil Ketua MPR-RI dari Fraksi PKS memberikan catatan kritis atas diterbitkannya Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 Tahun 2022 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan Pada Kementerian Agama.

Itu karena, HNW melihat ada beberapa poin yang perlu dievaluasi dan diperbaiki dari muatan PMA tersebut, di antaranya tidak dimasukkan nilai agama dalam konsideran dan pencegahan kekerasan seksual, serta penyebutan satuan pendidikan Agama secara diskriminatif, tidak adil karena hanya menyebut jenis pendidikan Agama Islam (Madrasah dan Pesantren), padahal Kemenag juga membawahi berbagai jenis lembaga pendidikan dari semua Agama yang diakui di Indonesia.

“Kemenag, sesuai namanya, seharusnya memasukkan aspek nilai-nilai agama dalam upaya mencegah kekerasan seksual di satuan pendidikan keagamaan. Karena dalam Agama Islam termasuk Fiqihnya, misalnya, banyak sekali ajaran-ajaran dan kaidah yang preventif, untuk penghindaran dan pencegahan terhadap kekerasan maupun kejahatan seksual. Kemenag, sesuai namanya dan komitmennya, juga tidak boleh diskriminatif dengan hanya menyebutkan satuan pendidikan Islam seperti Madrasah dan Pesantren, dengan tidak menyebutkan satuan pendidikan keagamaan lainnya. Kemenag seharusnya menjadikan PMA itu untuk semua satuan pendidikan keagamaan secara definitif. Karena para murid dari berbagai sekolah keagamaan di luar Islam pun juga berhak mendapatkan keadilan dan kesetaraan perlakuan dan perlindungan Negara dari kekerasan dan kejahatan seksual,” kata HNW dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/10/2022)

PMA 73/2022 berisi 20 pasal yang mengatur definisi, bentuk, hingga penindakan kekerasan seksual di lingkup pendidikan keagamaan. PMA ini menjadikan UU Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagai salah satu dasar hukumnya.

Sayangnya, Hidayat menilai, ada perbedaan pendekatan yang fundamental antara PMA 73/2022 dengan UU 12/2022. Hal itu jelas terlihat sejak Pasal 1 mengenai definisi.

“Penggunaan definisi dalam PMA yang menjabarkan berbagai bentuk kekerasan seksual tidak sesuai dengan UU 12/2022 yang membatasi pada aspek unsur tindak pidana. Jika dirujuk kepada pembahasan akhir UU 12/2022, disepakati bahwa yang menjadi fokus adalah tindak pidana kekerasan seksual, bukan kepada bentuk daripada kekerasan seksual tersebut,” sambung HNW

Hal itu menyebabkan PMA 73/2022 terkesan kebablasan dalam mendefinisikan bentuk-bentuk kekerasan seksual, tanpa memiliki dasar hukum maupun sandaran teoritis yang jelas.

Dirinya menjelaskan, pendekatan tersebut sejatinya sudah pernah digunakan sebelumnya di Permendikbudristek 30/2021 tentang Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi, yang akhirnya menuai kontroversi di tengah masyarakat.

“Oleh karena itu kemudian pendekatan di UU 12/2022 menggunakan pendekatan tindak pidana. PMA 73/2022 seharusnya juga menggunakan pendekatan yang sama, bukan justru eksplorasi sendiri tanpa ada dasar argumennya,” lanjutnya.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menjelaskan, dampak dari perbedaan pendekatan tersebut adalah PMA 73/2022 memungkinkan mekanisme penyelesaian internal terhadap kasus kekerasan seksual.

Yakni melalui proses klarifikasi antara pelapor, terlapor, korban, dan para saksi, di mana terlapor bisa dikenai tindakan berupa pembebasan sementara dari tugasnya dan dari layanan pendidikan.

“Hal ini tentu rawan menjadi bentuk kriminalisasi terhadap civitas akademika di lingkungan pendidikan keagamaan. Seharusnya dibuat mekanisme penindakan yang lebih berkeadilan baik bagi pelapor maupun terlapor, sampai adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Selain civitas orang per orang, satuan pendidikan itu sendiri juga rawan terkena kriminalisasi. Di Pasal 19 disebutkan bahwa satuan pendidikan yang tidak melakukan upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual bisa dikenakan sanksi administratif hingga pencabutan tanda daftar Satuan Pendidikan.

Dirinya mempertanyakan sejauh apa batasan melakukan dan tidak melakukan upaya tersebut, di mana jika misalnya ada oknum pelaku kekerasan seksual yang sudah diproses hukum, apakah satuan Pendidikannya bisa dianggap tidak melakukan upaya pencegahan kekerasan seksual.

“Dengan berbagai temuan tersebut, dan agar tujuan PMA untuk atasi kekerasan seksual di lembaga pendidikan keagamaan lebih dapat diwujudkan, sebaiknya Menteri Agama segera merevisi PMA 73/2022 itu dengan mempertimbangkan berbagai masukan dan kritik,” ungkapnya.

Kemenag juga, imbuh HNW, harus membuka lebih luas diskusi dengan para pakar, tokoh Agama-agama, pimpinan ormas-ormas keagamaan, dan perwakilan Satuan Pendidikan Keagamaan, sebelum akhirnya menetapkan kembali PMA mengenai pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang lebih baik dan tidak diskriminatif.

“Agar kekerasan atau kejahatan seksual di lembaga pendidikan keagamaan dalam berbagai jenisnya, dapat dikoreksi, agar selamatlah anak-anak peserta didik di berbagai lembaga pendidikan keagamaan dari latar belakang agama apa pun, dari kekerasan dan kejahatan seksual yang bisa terjadi di lembaga pendidikan keagamaan apa pun,” pungkasnya.(faz/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs