Jumat, 22 November 2024

Penyidik Polri Kembali Periksa Dua Petinggi ACT Hari Ini

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ahyudin Pendiri Aksi Cepat Tanggap (ACT) didampingi pengacaranya memberikan keterangan kepada media, di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Jumat (8/7/2022).Foto: Antara

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, kembali meminta keterangan dua petinggi Aksi Cepat Tanggap (ACT) terkait penyelidikan kasus penyimpangan penggunaan dana sosial. Dua petinggi yang dimintai keterangan, yakni Ahyudin sebagai pendiri dan Ibnu Khajar sebagai Presiden ACT.

“Kedua petinggi tersebut, lanjut diperiksa pada hari ini,” ujar Kombes Pol Andri Sudarmaji, Kasubdit IV Dittipideksus Bareskrim Polri, Senin (11/7/2022) dilansir Antara.

Sebelumnya, kedua petinggi ACT itu telah dimintai keterangan oleh penyidik pada Jumat (8/7/2022) lalu. Pemeriksaan terhadap Ahyudin dimulai jam 11.00 hingga 22.30 WIB, sedangkan Ibnu Khajar pada jam 15.00 hingga 22.00 WIB.

Sebagai informasi, Polri sedang menyelidiki dugaan penyimpangan dana sosial ahli waris, korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 yang terjadi pada 2018 lalu. Hal tersebut, disampaikan Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri, pada Sabtu (9/7/2022) kemarin.

“Dua Pengurus ACT, diduga menyalahgunakan dana sosial tersebut untuk kepentingan pribadi. Seperti pembayaran gaji dan fasilitas pribadi,” jelasnya.

Dari hasil pemeriksaan sementara, penyidik menyatakan jika pihak ACT menerima dana sosial sebesar Rp138 milliar. Mereka, tidak pernah mengikutsertakan dan memberitahu pihak ahli waris korban kecelakaan pesawat, dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial yang didapat dari pihak Boeing.

Pihak Boeing sendiri memberikan dua jenis dana kompensasi, yaitu dana santunan tunai sebesar Rp2,06 milliar, serta bantuan nontunai berbentuk dana sosial sebesar Rp2,06 miliar. Tapi, tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban, melainkan melalui lembaga atau yayasan dengan persyaratan yang ditentukan pihak Boeing, yakni ACT.

“ACT dipilih ahli waris korban, untuk mengelola dana sosial guna membangun fasilitas pendidikan,” ungkap Ramadhan.

Dugaan sementara, kasus tersebut melanggar pasal 372 juncto, 372 KUHP dan pasal 45A ayat (1) juncto pasal 28 ayat (1), Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) juncto pasal 5 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan serta Pasal 3, Pasal 4 dan pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencurian Uang (TPPU). (des/bil/rst)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
26o
Kurs