Dugaan penyelewengan dana oleh Yayasan Aksi Cepat Tanggap (ACT) sebagai salah satu lembaga filantropi terbesar di Indonesia menghebohkan masyarakat. Hal itu tak lain karena ACT yang bergerak di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan dianggap mencederai kepercayaan masyarakat yang sudah menitipkan dananya di sana.
Dr. Prawitra Thalib Dosen Fakultas Hukum Prodi Ilmu Hukum Universitas Airlangga (Unair) dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net, Jumat (7/8/2022) mengatakan, sudah ada peraturan pengelolaan dana yayasan beserta sanksi untuk dugaan penyelewengannya.
“Sebagaimana diketahui ACT berbadan hukum yayasan, maka ACT harus tunduk pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 juncto Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan dan berdasarkan pada prinsip keterbukaan dan akuntabilitas kepada masyarakat,” jelas Prawitra.
Sehingga, karena ACT telah berbadan hukum, yayasan ini dilarang mengambil keuntungan dari yayasan atau kegiatan usaha yayasan, baik oleh pendiri maupun pengurusnya.
Selain itu, Prawitra juga menegaskan lebih lanjut terkait ketentuan dalam Pasal 6 Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1980 tentang Pelaksanaan Pengumpulan Sumbangan. Dalam PP itu dijelaskan bahwa pembiayaan usaha pengumpulan sumbangan sebanyak-banyaknya adalah sepuluh persen dari hasil pengumpulan sumbangan yang bersangkutan.
“Yang artinya operasional dari pengumpulan dana sosial tersebut hanya bisa diambil sebanyak-banyaknya 10 persen dari total pengumpulan sumbangan,” terangnya.
Dalam melihat kejelasan dugaan penyelewengan dana masyarakat ini, Prawitra menjelaskan perlunya melihat kembali anggaran dasar dari ACT yang mengatur tentang gaji dan sarana pengurus berupa keputusan dewan pembina. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah ada ruang tikungan penyelewengan regulasi yang terdapat dalam anggaran dasar.
“Karena motivasi perbuatan pelaku akan terlihat dari pintu regulasi anggaran dasarnya. Ini jadi ruang untuk menyisir pertanggungjawaban pidana organ yayasan ini. Termasuk apakah ada perbuatan berlanjut pidana lain berupa tindak pidana penggelapan atau tindak pidana pemalsuan,” terangnya.
Selain itu, Prawitra menungkapkan sanksi pidana untuk penyelewengan seperti yang didugakan pada ACT sudah diatur dalam Pasal 70 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, yang isinya menegaskan ‘Setiap anggota organ yayasan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
“Bila benar pengurus ACT mengambil keuntungan digaji, maka dapat dikenakan sanksi pidana terhadap perbuatan pelaku yang menerima pembagian atau peralihan dari kekayaan yayasan. Bisa dipidana dengan penjara paling lama lima tahun,’” jelas Prawitra.
Selain sanksi pidana penjara, pengurus ACT yang terbukti bersalah juga dikenakan pidana tambahan berupa kewajiban mengembalikan uang, barang, atau kekayaan yayasan yang dialihkan atau dibagikan.
Prawitra juga menyarankan kepada pemerintah, khususnya Kementerian Sosial RI untuk bisa menyiapkan aturan yang jelas bagi lembaga-lembaga filantropi yang menghimpun dana masyarakat.
“Harus ada aturan yang jelas terkait hak dan kewajiban lembaga-lembaga tersebut. Mengingat, ada kalanya penyaluran bantuan dan kegiatannya juga membutuhkan biaya operasional per bulan,” ucapnya.
“Memang di aturan lama ada ketentuan sepuluh persen donasi dapat diambil oleh pengelola donasi dan 12,5 persen dapat diambil lembaga amil zakat karena itu adalah haknya. Namun, untuk donasi sosial hal tersebut harus dikaji kembali apakah masih relevan atau tidak, atau disamakan 12,5 persen,” tandasnya.(bil/dfn)