Jumat, 22 November 2024

Pemerintah Pertahankan Pasal Penyerangan Harkat Martabat Presiden dalam RUU KUHP

Laporan oleh Farid Kusuma
Bagikan
Edward Omar Sharif Hiariej Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Foto: Kemenkumham

Edward Omar Sharif Hiariej Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham),  Rabu (6/7/2022), menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) kepada Komisi III DPR RI.

Edward mengatakan, salah satu isu krusial yang masih dipertahankan adalah penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden. Menurut Edward, ada penjelasan tambahan mengenai perbedaan kritik dan penghinaan.

“Jadi, kami menambahkan di penjelasan mengenai kritik yang dimaksud untuk kepentingan umum adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan dengan hak Berekspresi dan berdemokrasi, misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden atau Wakil Presiden,” jelasnya.

Dia melanjutkan, kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan Presiden dan Wapres yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk kebijakan tersebut.

Wamenkumham menyebut, kritik diperbolehkan selama bersifat konstruktif dan sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan atau dilakukan dengan cara yang objektif.

Kritik juga boleh mengandung ketidaksetujuan terhadap perbuatan atau kebijakan atau tindakan presiden atau wapres. Kritik juga dapat berupa membuka kesalahan atau kekurangan yang terlihat.

“Kritik tidak dilakukan dengan niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat, menyinggung karakter atau kehidupan pribadi presiden dan wapres,” kata pria yang akrab disapa Eddy.

Dalam draft RKUHP terbaru Pasal 217 berbunyi:

Setiap Orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 218

(1) Setiap Orang yang Di Muka Umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

(2) Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.

Pasal 219

Setiap Orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV.

Pasal 220

(1) Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 218 dan Pasal 219 hanya dapat dituntut berdasarkan aduan.

(2) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan secara tertulis oleh Presiden atau Wakil Presiden.

 

Sementara itu, dalam forum rapat kerja bersama Komisi III DPR RI, Wamenkumham menyebut Pemerintah sudah melakukan tujuh penyempurnaan draf RUU KUHP.

Masing-masing, terkait 14 isu krusial, terkait ancaman pidana, terkait bab tindak pidana penadahan, penerbitan, dan percetakan.

Kemudian, terkait harmonisasi dengan UU di luar KUHP, lalu sinkronisasi batang tubuh dan penjelasan, teknik penyusunan, serta perbaikan penulisan (typo).

Di RUU KUHP, ada 14 isu krusial yang mendapat perhatian publik. Pertama, Pasal 2 yang mengatur living law atau hukum yang hidup di masyarakat.

Dalam penjelasan, living law yang menentukan seseorang patut dipidana adalah hukum pidana adat. Pemenuhan kewajiban adat setempat diutamakan, jika perbuatan pidana yang dilakukan memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (2) RKUHP.

Pemenuhan kewajiban adat setempat dianggap sebanding dengan pidana denda kategori II, atau dapat dikenakan pidana pengganti untuk pidana denda, jika kewajiban adat setempat tidak dipenuhi atau tidak dijalani oleh terpidana. Pidana pengganti dapat juga berupa pidana ganti rugi.

Isu krusial yang kedua, Pasal 100 mengatur pidana mati. Berbeda dengan KUHP yang menempatkan pidana mati sebagai pidana pokok, RKUHP menempatkan sebagai ancaman pidana paling akhir dijatuhkan dan sebagai pidana alternatif dengan pidana penjara waktu tertentu paling lama 20 tahun dan pidana penjara seumur hidup.

Yang ketiga, Pasal 218 terkait penyerangan harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Keempat, Pasal 252 terkait tindak pidana memiliki kekuatan gaib. Menurut Wamenkumham, tindak pidana tersebut merupakan delik formil. Sehingga, tidak perlu ada yang dipidana apabila seseorang menyatakan mempunyai kekuatan untuk menimbulkan penyakit dan lainnya.

Dia beralasan, tindak pidana tersebut sifatnya sangat kriminogen (dapat menyebabkan terjadinya tindak pidana lain), dan viktimogen (secara potensial dapat menyebabkan kerugian berbagai kepentingan).

Kemudian melindungi kepentingan individual (misalnya mencegah praktik penipuan). Serta melindungi religiusitas dan ketentraman hidup beragama yang dilecehkan oleh perbuatan syirik.

Kelima, Pasal 278-279 yang mengatur tentang unggas dan ternak yang merusak kebun yang ditaburi benih.

Pemerintah dalam penjelasannya menyebut pasal tersebut telah diatur dalam Pasal 549 KUHP. Karenanya pemerintah mengusulkan mengubah Pasal 278 dan 279 RKUHP menjadi delik materil.

Pasal itu masih diperlukan untuk melinduungi para petani yang berpotensi mengalami kerugian akibat benih atau tanamannya dirusak unggas/ternak milik orang lain.

Keenam, Pasal 281 tentang contemp of court. Keberadaan pasal tersebut diatur dalam memberikan kepastian perlindungan hukum bagi hakim dan aparatur pengadilan, hingga menjadi dasar hukum untuk menegakkan kewibawaan pengadilan.

Menurut Edward, Pemerintah mempertahankan pasal tersebut dengan perubahan pada penjelasan Pasal 281 huruf c, sehingga berbunyi: Yang dimaksud dengan “dipublikasikan secara langsung” misalnya, live streaming, audio visual tidak diperkenankan.

Sehingga, tidak mengurangi kebebasan jurnalis atau wartawan untuk menulis berita dan mempublikasikannya. Yang pasti, pasal tersebut diatur demi ketertiban umum agar menghindari opini publik yang dapat mempengaruhi putusan hakim.

Ketujuh, Pasal 304 tentang penodaan agama. Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu menilai, dengan mempertimbangkan usulan masyarakat, Pemerintah mengusulkan untuk mereformulasi rumusan Pasal 304.

Dengan begitu, terdapat tiga perbuatan yang diatur. Seperti melakukan perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, atau menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia.

Perbuatan dalam rumusan itu disesuaikan dengan perbuatan sebagaimana diatur dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik, serta dipandang lebih jelas jika dibandingkan dengan kata ‘penodaan’ pada rumusan pasal sebelumnya.

Kedelapan, Pasal 342 tentang penganiayaan hewan. Menurutnya, pemerintah telah menambahkan penjelasan Pasal 342 ayat (1) huruf a. Dengan demikian menjadi berbunyi “Yang dimaksud dengan ‘kemampuan kodrat’ adalah kemampuan hewan yang alamiah”.

Kesembilan, Pasal 414-416 tentang alat pencegahan kehamilan dan pengguguran kandungan.

Dalam penjelasan, Pasal 414 tidak ditujukan bagi orang dewasa, melainkan untuk memberikan pelindungan kepada anak agar terbebas dari seks bebas.

Pengecualian Pasal 414 bila dilakukan untuk program KB, pencegahan penyakit menular seksual, kepentingan pendidikan, dan untuk ilmu pengetahuan. Kemudian dilakukan untuk kepentingan pendidikan.

Sementara rumusan Pasal 416 RKUHP sesuai dengan Pasal 28 UU No.52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga.

Kesepuluh, Pasal 431 tentang Penggelandangan. Menurutnya, pemerintah mengusulkan agar rumusan Pasal 431 tetap diatur dalam draf RKUHP.

Tujuannya, untuk menjaga ketertiban umum. Sanksi yang diberikan pun bukan pidana pemenjaraan, tapi sebatas pidana denda, bahkan dimungkinkan pidana alternatif berupa pengawasan atau pidana kerja sosial.

Alasan lainnya, akibat adanya putusan MK No.29/PUU-X/2012 yang menguatkan pengaturan penggelandangan dalam draf RKUHP.

Kesebelas, Pasal 469-471 tentang aborsi. Menurutnya, pemerintah mengusulkan penambahan 1 ayat baru yang menyebutkan “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal perempuan merupakan korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak melebihi 12 minggu atau memiliki indikasi kedaruratan medis”.

Penambahan satu ayat baru tersebut memberi pengecualian bagi pengguguran kandungan untuk perempuan apabila terdapat indikasi kedaruratan medis atau hamil karena korban perkosaan yang usia kehamilannya tidak lebih dari 12 minggu.

Ketentuan dalam ayat baru tersebut merupakan ketentuan yang telah diatur dalam UU No.36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Keduabelas, Pasal 417 tentang Perzinahan. Menurutnya, tidak ada agama yang membolehkan perzinahan. Karena, perzinahan menjadi kejahatan tanpa korban (victimless crime) yang secara individual tidak langsung melanggar hak orang lain, tapi melanggar nilai budaya dan agama yang berlaku dalam masyarakat.

Pasal 417 bagi Pemerintah merupakan bentuk penghormatan terhadap lembaga perkawinan. Rumusan pasal tersebut sebagai delik aduan yang hanya dapat diajukan oleh orang-orang yang paling terkena dampak. Seperti suami, istri, orang tua, atau anaknya.

Isu krusial ketigabelas, Pasal 418 tentang kohabitasi. Rumusan pasal tersebut merupakan delik aduan. Pengadunya hanya dapat diajukan orang-orang yang terdampak.

Walau begitu, Pemerintah mengusulkan menghapus ketentuan kepala desa yang dapat mengajukan aduan. Dengan begitu, aduan hanya dapat dilakukan suami/istri (bagi yang terikat perkawinan), atau orang tua atau anak (bagi yang tidak terikat perkawinan).

Keempatbelas, Pasal 479 tentang perkosaan. Menurutnya, perkosaan dalam perkawinan (marital rape) ditambahkan dalam rumusan Pasal 479 agar konsisten dengan Pasal 53 UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Tapi, kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami bersifat delik aduan.

Wamenkumham mengatakan, rencananya pembahasan RUU KHUP akan dilanjutkan sesudah masa reses DPR RI tanggal 16 Agustus 2022.

Karena RUU KHUP masuk Prolegnas prioritas 2022, masih ada waktu pembahasan RUU KHUP sampai akhir tahun 2022.(rid/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs