Eko Baskoro Founder Climate Change Frontier (komunitas pemerhati lingkungan) menyebut, jika program reboisasi yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah sejauh ini jarang ada tindak lanjut.
“Banyak program reboisasi yang kemudian ditinggal setelah sudah selesai diresmikan. Terkadang tidak diperhatikan dengan serius. Jadi tidak tahu itu tanamannya tumbuh atau tidak,” kata Eko kepada Radio Suara Surabaya, Rabu (19/10/2022) sore.
Padahal dalam program reboisasi, kata Eko, kewajibannya bukan hanya menanam tapi juga merawat untuk jangka panjang kedepan. Selain itu, kebanyakan reboisasi hutan yang ada sejauh ini tanaman-nya banyak yang justru tidak sesuai. Tanaman yang ditanam, kebanyakan dianggap tidak bisa meresap air secara maksimal dan bahkan memiliki akar yang lemah.
Menurutnya, jika konsep reboisasi seperti itu terus berulang, maka bencana hidrometeorologi seperti banjir dan tanah longsor seperti yang baru-baru ini terjadi di kawasan Selatan Jawa Timur (Jatim), tidak bisa dihindarkan.
“Harus ada kerja sama. Kalau semisal dari pemerintah yang mencanangkan reboisasi tidak bisa selalu memantau, bisa melibatkan pihak lain seperti masyarakat sekitar lokasi reboisasi yang menjaga,” terangnya.
Founder Climate Change Frontier itu menjelaskan, jika reboisasi sebenarnya sangat efektif untuk mencegah bencana hidrometeorologi tersebut. Apalagi, dia menilai banyak hutan dan gunung yang mulai gundul di Jatim.
“Kalau informasi yang saya dapatkan, memang hutan gundul di Jatim itu banyaknya ada di Malang Selatan, Kabupaten Blitar dan Lumajang,” ungkapnya.
Eko menjelaskan, jika hutan gundul yang dimaksud bukan soal penebangan pohon secara liar, akan tetapi soal alih fungsi hutan menjadi perkebunan bahkan peternakan. Disampaikannya, jika alih hutan seharusnya diimbangi dengan reboisasi di lokasi lain dengan skala yang sama.
“Jadi luas hutannya tetap sama, meskipun ada alih hutan. Kalau tidak, ya banjir beruntun tiap tahun,” tandasnya. (bil/ipg)