Zenzi Suhadi Direktur Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mendorong DPR dan Pemerintah membuat satu badan yang bertanggung jawab pada penindakan pelanggaran hukum lingkungan, serta membuat undang-undang (UU) perubahan iklim.
Dia menilai, hal itu diperlukan untuk memitigasi bencana akibat ulah manusia, dan bencana yang terjadi karena perubahan iklim.
Menurutnya, sebagian besar bencana di Indonesia seperti asap kebakaran hutan, banjir bandang merupakan imbas dari kerusakan lingkungan dan eksploitasi sumber daya alam.
“Kalau DPR mau menurunkan risiko bencana di Indonesia, syarat pertama harus ada UU tentang Perubahan Iklim. Kedua, harus ada komisi khusus penegak hukum lingkungan dan sumber daya alam,” ujarnya di Jakarta, Senin (30/5/2022).
Zenzi menjelaskan, ada tiga fakta geografis yang membuat Indonesia harus berhadapan dengan risiko bencana, yaitu ring of fire, negara kepulauan, dan daerah hutan tropis.
Karena itu, Indonesia harus selalu siap berhadapan dengan gempa vulkanik mau pun tektonik.
“Bencana alam itu bisa menjadi bukan bencana kalau mampu dimitigasi dengan baik. Misalnya, wilayah zona merah tsunami yang seharusnya tidak boleh dilakukan pembangunan, tapi ternyata banyak terjadi pembangunan yang berdampak besar pada masyarakat, dan berpotensi menyebabkan risiko bencana,” ungkapnya.
Dengan kondisi seperti itu, orang yang bisa menjadi korban bukan karena faktor alam seperti gempa, tapi juga akibat kesalahan kebijakan dan regulasi.
Lebih lanjut, Zenzi menyebut Indonesia seharusnya bisa mencegah bencana hidrometeorologi, kekeringan, atau pun asap.
“DPR seharusnya mengkaji ulang produk legislasi yang bisa memicu terjadinya bencana,” harapnya.
Perubahan iklim, sambung Zenzi, juga merupakan faktor yang mempengaruhi bencana hidrometeorologi. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai risiko besar dengan perubahan iklim.
Sebelumnya, Puan Maharani Ketua DPR RI mengingatkan pentingnya mitigasi bencana di wilayah Indonesia yang rawan bencana alam.
“Mitigasi bencana sangat penting dilakukan untuk keselamatan seluruh warga. Walau pun ada bencana yang tidak bisa dihindari seperti gempa bumi, tapi dengan mitigasi bencana yang maksimal dampaknya bisa ditekan seminimal mungkin,” ujar Puan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (24/5/2022).
Di tempat terpisah, Muhammad Arif Koordinator Proyek Adaptasi Perubahan Iklim Yayasan Bintari Semarang menyebutkan contoh nyata dampak perubahan iklim adalah bencana banjir rob yang melanda sejumlah kota di Pantai Utara Jawa Tengah.
Banjir rob yang terjadi di Kota Semarang akhir pekan lalu menjadi alarm keberlangsungan kehidupan masyarakat di sekitarnya. Dia menyebut, kejadian yang berulang kali akan makin berdampak di masa depan kalau tidak ada langkah mitigasi bencana yang tepat.
“Kondisi kemarin luar biasa. Infrastruktur yang disiapkan kan masyarakatnya. Banjir sudah tidak terjadi dalam skala signifikan selama 10 tahun terakhir. Tingkat kewaspadaan dari masyarakat atau semua pihak kurang,” ucapnya.
Pemerintah daerah, lanjut Arif, sudah melakukan berbagai upaya di bidang infrastruktur. Di antaranya, membangun kanal, meninggikan tanggul, dan normalisasi sungai, namun yang terlewat adalah masyarakatnya.
Tapi, masyarakat belum mau pindah karena mungkin itu satu-satunya harta mereka.
“Harusnya disiapkan jaminan sosial, mekanisme proteksi sosial, akses pekerjaan, dan tempat tinggal baru. Mitigasi terencana menjadi isu serius di beberapa negara. Bisa dikatakan, menjadi rencana jangka panjang untuk 20 tahun ke depan,” pungkasnya.(rid/ipg)