Dr. Machsus Fauzi, Dosen Transportasi Teknik Infrastruktur Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengatakan, implementasi kendaraan otonom di Indonesia tidak bisa diterapkan begitu saja sebagai sarana transportasi di masa mendatang. Mengingat karakter kendaraan otonom yang tanpa awak perlu banyak penyesuaian dengan keadaan yang ada.
“Untuk implementasi kendaraan otonom di Indonesia tidak bisa diterapkan begitu saja, karena banyak yang harus dipersiapkan dan perlu adaptasi dengan kondisi serta karakteristik lalu lintas yang ada. Intinya, kita tidak bisa terapkan begitu saja demi meminimalisir terjadinya risiko kecelakaan,” jelas Fauzi, sapaan akrabnya, saat mengudara di program Wawasan, Radio Suara Surabaya, Selasa (16/8/2022).
Fauzi melanjutkan, operasional kendaraan otonom berbeda dengan kendaraan biasanya karena dibuat berdasarkan sistem dan algoritma agar bisa berjalan tanpa awak. Sehingga langkah yang dilakukan Kementerian Perhubungan untuk mematangkan regulasi dan uji kelayakannya adalah hal yang tepat.
“Kalau di luar negeri lalu lintasnya teratur maka operasi penerapan otonomus jadi lebih mudah. Tapi kalau di Indonesia dengan banyaknya sepeda motor yang zigzag, apakah sistem yang dibangun di kendaraan itu mampu meng-upload perilaku kendaraan seperti itu karena harus dimasukkan di algoritma terlebih dulu,” jelasnya.
Sementara terkait uji coba kendaraan otonom, ia menyarankan agar dilakukan di area terbatas seperti kampus atau bandara yang jaringan internetnya mumpuni dan stabil.
“Rekomendasi dari saya, mungkin jaringan internet bisa diterapkan dan disiapkan di area terbatas terlebih dahulu, seperti kampus atau bandara jika nanti kendaraan otonom sudah diterapkan keluar area,” ungkap Fauzi.
Dalam kesempatan tersebut Senior Manager Direktorat Inovasi dan Kawasan Sains Teknologi ITS itu menjelaskan, ITS saat ini punya kendaraan otonomus yang sudah beroperasi di area kampus yaitu i-Car.
Saat merancang i-Car, ia mengatakan, ITS mempelajari banyak hal dari membuat sebuah kendaraan otonom. Dan untuk membuatnya agar dapat beroperasional di jalan, perlu riset dan pengembangan berkali-kali.
“Misalnya saat parkir, kendaraan tersebut harus dilatih berkali-kali saat berhenti, maju dan mundur. Sehingga pemerintah juga wajib mempertimbangkan aspek keselamatan,” ujarnya.
Ia pun membuka kemungkinan jika kendaraan otonom yang beroperasi tidak harus murni otonom 100 persen.
“Harus tetap ada driver yang tugasnya menjaga kondisi darurat. Misalkan ada emergency, maka sistem berubah manual dan driver bisa mengendalikan kendaraan. Ini yang bisa diadopsi dalam regulasi yang dikembangkan Kemenhub,” tegasnya.
Meski saat ini i-Car masih beroperasi di dalam kampus, Fauzi yakin kalau teknologi ini disempurnakan dapat menjadi kontribusi anak bangsa dalam pengembangan kendaraan otonom.(des/dfn/rst)