Jumat, 22 November 2024

Pakar Minta BPOM Lakukan Uji BPA pada Kemasan Kaleng

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Ilustrasi. Makarel Kaleng.

Agustino Zulys Pakar kimia dari Departemen Kimia Universitas Indonesia meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) segera melakukan uji laboratorium terhadap paparan Bisfenol A (BPA) yang ada dalam makanan kemasan kaleng.

“Pengujian tidak hanya terhadap kemasan galon guna ulang yang berbahan Polikarbonat.Tetapi juga kemasan kaleng,” ujar Agustino dalam keterangan tertulisnya di Jakarta seperti dilansir Antara, Sabtu (26/11/2022).

Menurut hasil penelitian yang dipublikasikan oleh Environmental Research menunjukkan, masyarakat yang mengonsumsi makanan kaleng menyebabkan konsentrasi BPA dalam urine tinggi.

“BPOM perlu meneliti sejauh mana migrasi dari pelapis kaleng antikarat atau BPA yang terdapat dalam kemasan kaleng itu terjadi ke makanannya. Dalam hal ini, BPOM bisa melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi,” kata dia.

Dia mengatakan, bahan makanan kemasan kaleng yang bersifat asam dapat memungkinkan BPA yang ada dalam lapisan kaleng terlarut.

“Oleh karena itu, makanan kaleng tidak boleh untuk makanan-makanan yang sifatnya asam,” kata dia.

Azis Boing Sitanggang pakar teknologi pangan dari IPB mengatakan, BPA dalam kemasan kaleng itu ada kemungkinan bermigrasi ke bahan makanan.

“Tapi, seberapa besar pelepasan BPA-nya kita tidak tahu. Karena di Indonesia belum ada studi untuk meng-compare langsung dan itu perlu dikaji lagi lebih jauh,” kata Azis.

Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan proses migrasi BPA dari kemasan kaleng itu, di antaranya proses laminasi BPA-nya, PH atau tingkat keasaman produk dalam kemasan kaleng itu, dan pindah panas dari produk pangannya.

Dia juga mencontohkan sarden, jamur, dan nanas yang dikalengkan itu beda-beda pindah panasnya saat disterilisasi, sehingga perlakuan kombinasi suhu dan waktu pemanasan juga berbeda-beda.

“Ketika itu beda-beda, berarti peluang migrasi BPA-nya juga berbeda-beda. Tapi, semakin asam bahan makanannya atau PH semakin rendah, kemungkinan besar bisa merusak laminasi epoksinya,” kata Azis.

Ahmad Zainal Abidin pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) mengatakan, kemasan kaleng yang sudah rusak alias penyok tidak boleh dikonsumsi masyarakat. Hal itu menyebabkan pecahnya lapisan epoksi, yang melapisi logam pada kaleng kemasan, sehingga mengakibatkan terjadi perpindahan BPA ke dalam produk.

“Jika itu terjadi, kemungkinan makanan atau minuman yang ada dalam kemasan itu bisa beracun,” kata Ahmad.

Penelitian kemasan kaleng sebelumnya pernah diteliti di Universitas Stanford dan Johns Hopkins University yang dipublikasikan Environmental Research yang menunjukkan adanya paparan BPA pada makanan kaleng. Jika masyarakat banyak mengonsumsi makanan kaleng, maka berpeluang seseorang terkontaminasi BPA.(ant/tik)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
27o
Kurs