Istilah cancel culture baru-baru ini ramai diperbincangkan di media sosial. Bentuk ketidaksukaan ini umumnya diutarakan demi menghilangkan perilaku yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku. Namun kini, cancel culture tidak hanya digunakan untuk menghilangkan perilaku yang melawan norma, namun juga sebagai pelampiasan netizen dalam bermedia sosial.
Nisa Kurnia Illahiati SIKom, MMedKom, pakar komunikasi asal Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, berpendapat bahwa perilaku ini dapat menjadi pola perilaku pada pengguna media sosial di Indonesia.
“Netizen memiliki kecenderungan untuk terburu-buru mengakses kekuasaan untuk memutuskan seseorang bersalah atau tidak, tanpa terlebih dahulu mengecek kebenarannya seperti apa. Saya lihat makin ke sini menjadi salah satu behavioral pattern dari netizen Indonesia,” terangnya.
Dari sudut pandang komunikasi, hal ini dapat disebabkan oleh rendahnya literasi disertai oleh nafsu ingin menghakimi oleh warganet.
“Lack of literacy, akhirnya menyebabkan seseorang menutup diri dari realitas yang sebenarnya bisa dicari, dan langsung menghakimi seseorang,” paparnya.
Standar ganda terhadap diri sendiri, juga disebutkan Nisa sebagai salah satu faktor yang dapat memengaruhi budaya ini.
“Perilaku yang ditunjukan public figure, bila dilakukan oleh netizen akan menimbulkan perlakuan yang berbeda. Misalnya dia tidak boleh, dan saya boleh,” jelas dosen bidang keahlian Studi Media tersebut.
Ia melanjutkan, media sosial kerap digunakan sebagai media escapism yaitu pelarian dari dunia nyata yang tidak sesuai dengan apa yang diinginkan. Sehingga, dapat dipahami bila banyak orang menuangkan komentar kebencian di media sosial.
“Meski dapat dipahami, namun hate comment merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan. Karena saat kita melakukan cancel pada seseorang, ada perspektif di mana kita tidak memikirkan dampak yang mungkin terjadi pada orang tersebut,” katanya.
Mengingat dampak yang ditimbulkan, Nisa menyarankan warganet untuk tetap bijak dalam menggunakan media sosial. “Sebelum kita melakukan cancel pada seseorang, kita harus mengonfirmasi dan memberikan hak jawab pada orang tersebut. Sebagai netizen, kita mungkin tidak memiliki hak untuk cancel dia, karena tidak benar-benar tahu apa yang terjadi,” pungkasnya.(ipg)