Peningkatan aliran air hujan di atas permukaan lahan terbuka (surface runoff) ke daerah aliran sungai yang dipicu alih fungsi lahan di hulu aliran sungai membuat beberapa daerah dataran tinggi di Jawa Timur mengalami banjir hingga longsor.
Mahendra Andiek Maulana Dosen Teknik Sipil Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) dalam forum bertajuk Ngobrol Santai “Antisipasi Bencana Banjir dan Longsor” yang diadakan Teknik Geofisika ITS, memberikan contoh peristiwa banjir di Blitar.
Tepatnya di Blitar Selatan yang beberapa wilayahnya mengalami banjir. Antara lain daerah Sutojayan, Panggungrejo, Kanigoro, dan Wlingi.
Kata Mahendra informasi yang beredar di masyarakat sekitar, bahwa penyebab terjadi banjir akibat dibukanya pintu air Bendungan Serut atau Lodoyo yang terletak di sebelah Barat.
Namun Mahendra menjelaskan bahwa yang dilakukan petugas penjaga air waktu itu sudah tepat, karena sesuai SOP batas maksimal dibukanya pintu air ketika kapasitas bendungan sudah mencapai 500 meter kubik per detik.
Waktu itu kapasitas air Bendungan tersebut sudah hampir penuh karena terjadi curah hujan yang tinggi. Jika tidak dibuka malah membahayakan kawasan di sekitarnya.
“Berdasar temuan di lapangan di daerah Sutoyojo, Blitar ternyata banjir disebabkan luapan Sungai Bogel itu sendiri. Nah Sungai Bogel masuk ke Sungai Brantas yang berada di Hulu Bendungan Lodoyo,” ujar Mahendra, Minggu (23/10/2022).
Dalam forum diskusi itu Mahendra menguraikan beberapa persoalan terkait penyebab terjadinya banjir yang ternyata tidak disebabkan alih lahan di dataran tinggi saja.
Dosen Teknik Sipil itu mencotohkan, misalnya di sepanjang aliran Sungai Brantas saat ini telah mengalami beberapa dampak akibat alih lahan. Yaitu berkurangnya area resapan.
“Kalau di Jatim ada di Brantas. Ada beberapa hal yang ditekankan terutama untuk area resapan yang semakin berkurang. Meski ini harus ada kajian lebih dalam, tapi sudah ada indikasinya kalau alih fungsi lahan di dataran tinggi berpengaruh pada peningkatan surface runoff,” katanya.
Mahendra melanjutkan, faktor penyebab banjir juga disebabkan karena penataan ruang di daerah aliran sungai yang tidak berwawasan lingkungan juga mempengaruhi luapan air.
Kata dia, realita alih fungsi lahan aliran sungai banyak digunakan untuk kawasan wisata yang tidak mengedepankan dampak area serapan sungai. Bahkan ada juga yang digunakan untuk kawasan perkebunan.
“Ada hutan yang luasnya sekian di daerah aliran sungai, ditebang untuk diubah fungsinya,” imbuhnya.
Penyebab selanjutnya adalah penurunan kapasitas sungai akibat sedimentasi. Dalam konteks ini Mahendra menyebut banyak wilayah di Indonesia yang mengalami sedimentasi bahkan secara global.
Dalam kasus sedimentasi ini, menurut Mahendra ada korelasinya dengan surface runoff yang berdampak pada erosi tanah yang kemudian masuk ke badan sungai atau waduk hingga membentuk sedimen dan menurunkan kapasitas sungai.
“Kapasitas-kapasitas waduk yang kita miliki ini juga mengalami penurunan,” ucapnya.
Sementara itu, Amien Widodo Dosen Geofisika ITS menyebut bahwa tanah yang berada di gunung memiliki hubungan simbiosis mutualisme dengan pohon.
Oleh karena itu seiring alih fungsi lahan yang semakin masif maka area resapan air semakin berkurang dan menimbulkan dampak longsor.
Sedangkan untuk faktor penyebab dan pemicu terjadinya longsor dirangkum oleh Amien dalam dua konteks. Yakni pengurangan vegetasi hutan dan penambahan air.
“Pengurangan vegetasi hutan ini bisa diakibatkan karena terbakar, tercabut angin ribut, dan ditebang secara legal maupun ilegal. Sedangkan untuk penambahan air bisa karena curah hujan tinggi,” ucapnya.
Sehingga saat hutan ditebang terjadi kohesi tanah dan akar, kemudian ketika ada beban tambahan seperti air hujan yang tinggi dan pemukiman maka tanah tidak kuat menahan yang berakibat longsor.
“Tanda longsor tidak ujug-ujug, kita bisa lihat jika di dataran tinggi ada beberapa rumah yang retak, lalu tiang listrik dan pohon jadi miring, dan ada perbedaan tinggi tanah. Maka itu jadi tanda awal akan terjadi longsor,” pungkasnya.(wld)