Brahma Astagiri, pakar hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya menyoroti viralnya surat pernyataan yang wajib ditandatangani orang tua calon santri Pondok Modern Darussalam Gontor saat pendaftaran.
Dalam surat perjanjian itu tertulis bahwa apabila terjadi sesuatu di Ponpes Gontor maka orang tua calon santri tidak diperbolehkan untuk melibatkan pihak luar.
“Meski surat perjanjian itu bermeterai dan ditandatangani, namun jika terjadi sesuatu maka tetap harus melapor kepada polisi,” kata Brahma di Surabaya, Senin (19/9/2022) dikutip dari Antara.
Brahma mengacu pada kasus kekerasan yang mengakibatkan seorang santri asal Palembang, Sumatera Selatan, meninggal dunia beberapa waktu lalu. Kemudian polisi akan melakukan penyelidikan apakah telah terjadi tindak pidana atau tidak. Setelah penyelidikan, apabila polisi yakin ada tindak pidana, maka akan ditingkatkan menjadi penyidikan.
“Menurut Pasal 1320 Burgerlijk Wetboek, perjanjian tidak boleh memuat hal yang bertentangan dengan undang-undang dan juga hak-hak konstitusi masyarakat. Artinya, perjanjian tidak boleh membatasi hak orang tua korban untuk melaporkan kematian anaknya kepada aparat yang berwenang,” ujar Brahma.
Brahma menjelaskan untuk kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa seperti santri Pondok Gontor asal Palembang sulit untuk dilakukan restorative justice.
Restorative justice adalah salah satu alternatif penyelesaian perkara pidana dengan mempertemukan korban dan pelaku untuk menyelesaikan permasalahan bersama di luar jalur pengadilan.
“Di sini kan korban sudah meninggal. Orang tua korban hanya bertindak sebagai pihak ketiga,” kata Brahma.
Dipaparkan Brahma, restorative justice memiliki beberapa syarat materiil yang harus terpenuhi, seperti kasusnya tidak menimbulkan keresahan dan penolakan dari masyarakat. Namun, kasus penganiayaan tersebut jelas mengakibatkan keributan di masyarakat.
Selain itu, lanjutnya, restorative justice juga harus tidak berdampak konflik sosial, adanya pernyataan dari semua pihak yang terlibat untuk melepaskan hak menuntutnya di hadapan hukum, serta memiliki prinsip pembatas.
“Salah satu pelakunya ada yang sudah berusia 18 tahun. Kalau kedua pelaku sama-sama di bawah umur, masih ada kesempatan untuk dilakukan restorative justice. Tetapi, kita harus melihat juga apakah kesalahan pelaku termasuk kesalahan fatal atau tidak. Kalau kesalahannya ringan masih dimungkinkan restorative justice,” tuturnya.
Brahma menegaskan esensi dari restorative justice adalah hasil akhirnya harus memperbaiki kondisi korban dan pelaku.
Ia menyampaikan untuk kasus-kasus ringan seperti pencurian dan perkelahian memang bisa diselesaikan secara internal, namun untuk kasus penganiayaan yang sampai mengakibatkan kematian seperti ini sebaiknya melibatkan pihak kepolisian agar bisa diinvestigasi lebih lanjut.
“Kalau sampai kasusnya ditutup-tutupi (oleh Ponpes Gontor), itu bisa termasuk menghambat penyidikan dan penyelidikan,” katanya.
Brahma berpesan agar kasus ini dijadikan pelajaran bagi pondok-pondok pesantren di luar sana agar dapat memahami hukum dengan baik supaya kasus-kasus seperti ini tidak terulang kembali.(ant/gat/iss/rst)