Senin, 25 November 2024

Pakar Hukum Sebut Peraturan Lahan Sawah Dilindungi Minim Konflik Agraria

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi. Sawah. Foto: Pixabay

Agus Sekarmadji, pakar Hukum Agraria Universitas Airlangga menyebut Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2019 tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Sawah atau Lahan Sawah Dilindungi (LSD) ini potensi konflik agrarianya sangat minim.

“Pada dasarnya Perpres Nomor 59 Tahun 2019 ini adalah untuk menghambat peralihan tanah yang produkti menjadi tanah non pertanian,” kata Agus Sekarmadji kepada suarasurabaya.net, Jumat (16/4/2022).

Agus melanjutkan, bahwa lahan yang digunakan adalah lahan yang sudah produktif sebelumnya, bukan lahan kosong yang tiba-tiba kemudian diubah menjadi lahan pertanian.

Kata Agus, sejak zaman dahulu khususnya di wilayah Jabodetabek sangat banyak sekali praktik peralihan tanah pertanian subur menjadi non pertanian.

Praktik yang terjadi sejak beberapa dekade silam akibat tuntutan pembangunan zaman seperti pembangunan rumah itu sudah banyak memakan lahan pertanian.

Oleh sebab itu menurut dia adanya Perpres Nomor 59 Tahun 2019 ini adalah upaya untuk menghambat lajunya peralihan fungsi lahan produktif menjadi non produktif dan sekaligus menjaga ketahanan pangan.

“Oleh karena itu praktik-praktik semacam itu bisa berdampak ke produksi pangan kita menjadi berkurang, maka hadirnya Perpres Nomor 59 Tahun 2019 untuk menghambatnya,” kata dia.

Lebih lanjut, Agus juga menyampaikan dalam Perpres tersebut ada tim yang dipimpin oleh Menteri Perekonomian untuk menjaga mana saja tanah yang masih produktif dan tidak produktif dalam sebuah bentuk peta wilayah.

Kemudian fungsi tugas dari tim tersebut disampaikan kepada masing-masing pemerintah daerah untuk dibentuk menjadi Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW).

“Supaya alur dalam membuat RTRW jangan sampai salah, artinya jangan sampai merubah tanah pertanian menjadi tanah pemukiman misalnya, itu tidak boleh,” ujarnya.

Menurut Agus adanya Perpres No.59 Tahun 2019 ini adalah langkah yang tepat untuk menghambat penempatan wilayah pembangunan yang asal-asalan.

“Peraturan ini mempertegas untuk tidak sembarangan merubah tanah-tanah pertanian menjadi non pertanian, ini menjadi masukan yang tepat bagi masing-masing daerah dan sekaligus menjaga ketahanan pangan,” pungkas Agus.

Sebagai informasi Pemerintah menetapkan Peta Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) di delapan provinsi. Kedelapan provinsi tersebut adalah Sumatra Barat, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara Barat.

Menanggapi kebijakan tersebut  Ir. Antiek Sugiharti, M.Si Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kota Surabaya mengatakan pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan BPN Pusat.

“Kami sudah ke lapangan bersama-sama dengan BPN dan Dinas Cipta Karya, berdasar kenyataan di lapangan lahan-lahan itu sudah ada lahan yang sudah diuruk dan sudah dibangun,”  kata Antiek.

Menurutnya Surabaya bukan kota pertanian. Kalau ada lahan yang digunakan untuk tanaman pangan, kepemilikan lahannya bervariasi. Ada yang milik pengembang, pemerintah, dan instansi lain.

“Di Surabaya memang ada lahan sawah, petani penggarapnya bukan di lahan sendiri, bisa di lahan TNI, dan instansi vertikal lainnya. Kalau tanah pemerintah kota mungkin tidak masalah, yang masalah adalah tanah pribadi dan tanah milik pengembang mereka belum tentu mau peruntukan jadi sawah,” urainya.(wld/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 25 November 2024
26o
Kurs