Joko Widodo Presiden mengeluarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Kesehatan Nasional di Jakarta pada 6 Januari 2022.
Inpres 1/2022 ini mensyaratkan masyarakat menjadi peserta aktif Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk berbagai macam pengurusan administrasi di 23 kementerian dan 7 lembaga negara, seperti Surat Izin Mengemudi (SIM), Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK), hingga ibadah haji.
Menurut Gitadi Tegas Pramudyo Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, ini menunjukkan pemerintah yang sedang membuat kebijakan ala koboi, bukan seperti penembak jitu/sniper.
“Kalau dalam bidang saya, kebijakan publik harus dipecahkan oleh seorang expert yang berkelas seperti penembak jitu/sniper. Bukan koboi yang menembak dari pinggang, angkat pistol langsung tembak karena sepertinya tidak tepat sasaran. Ini sepertinya mendesain kebijakan ala koboi, segala sasaran ditembakkan,” kata Gitadi dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Selasa (22/2/2022).
“Padahal untuk kebijakan publik harusnya berlevelkan sniper, sehingga pasti 99 persen tepat sasaran. Ini menunjukkan kapasitas pembuat kebijakan yang ala kadarnya,” Gitadi melanjutkan penjelasannya.
Menurutnya, Inpres ini sudah bagus karena secara komprehensif menginstruksikan jajaran yang ada di dalamnya untuk optimalisasi JKN. Namun menjadi kontroversi di masyarakat karena ada unsur pemaksaan dalam implementasinya, yang dikaitkan dengan pengurusan administrasi pelayanan publik.
“Kalau orang Surabaya bilang Joko Sembung Numpak Ojek (Jaka Sembung Naik Ojek), gak nyambung jek. Ini yang kemudian muncul di media sosial,” terangnya.
Selain itu pihaknya juga menilai penerapan Inpres ini terkesan tergesa-gesa, padahal sudah dikeluarkan sejak bulan Januari lalu.
Seperti kebijakan kepesertaan BPJS Kesehatan aktif dalam jual beli tanah yang diterapkan mulai 1 Maret 2022, lalu di ranah kepolisian yang mensyaratkan ini dalam pembuatan SIM, belum lagi wacana penghapusan kelas BPJS Kesehatan yang menurut Gitadi tidak ada tindak lanjutnya.
Selegenje ini yang menurut Gitadi menunjukkan ada kendala di tingkat pasca-Inpers tersebut diterbitkan, yakni di kementerian/lembaga yang dinaungi kebijakan itu.
“Ini yang saya lihat tidak ada koordinasi di antara seluruh jajaran dalam Inpres ini. Sehingga masing-masing secara parsial menampilkan sendiri-sendiri. Bisa jadi karena terkesan tergesa-gesa padahal Inpers sudah Januari tapi baru sekarang dijadikan syarat,” jelasnya.
“Mereka lupa kalau di era keterbukaan seperti ini semua kebijakan dapat langsung direspon oleh masyarakat”, imbuhnya.
Gita menjelaskan kalau secara eksplisit pendanaan BPJS Kesehatan disebut, tapi di kementerian tidak disebut. Malah yang justru diterbitkan dalam Inpres adalah optimalisasi JKN. Ini yang menurutnya menjadi hidden agenda.
“Ya mestinya disebutkan saja kalau memang kantong BPJS Kesehatan sudah bocor sana-sini, enggak cukup untuk nambal. Yang penting disebutkan berapa yang dibutuhkan, kurangnya berapa. Ini mestinya diekspose ke masyarakat agar paham. Kalau tahu-tahu harus ada kepesertaan BPJS aktif saat mengurus ini-itu masyarakat yang tingkat public trust-nya menurun akan semakin berprasangka buruk,” pungkas Gitadi.(dfn/ipg)