Sabtu, 23 November 2024

Oei Hiem Hwie Mewariskan Perpustakaan Medayu Agung untuk Generasi Muda

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Oei Hiem Hwie saat di ruang lemari besar manuskrip Perpustakaan Medayu Agung, Sabtu (23/4/2022) Foto : Retha Yuniar suarasurabaya.net

Pada Hari Buku Nasional, Sabtu (23/4/2022), Oei Hiem Hwie, tokoh penyelamat manuskrip asli tetralogi Buru, berpesan pada generasi muda untuk lebih banyak membaca.

Kecintaannya pada dunia literasi mendorongnya untuk menginisiasi pembentukan Perpustakaan Medayu Agung yang secara resmi dibuka untuk umum sejak tahun 2001.

“Ini milik masyarakat. Masyarakat muda – muda. Bukan milik saya. Saya sudah lepas,” ujarnya pada suarasurabaya.net.

Sepeninggalnya nanti, Oei Hiem Hwie ingin karya-karya dan manuskrip yang dia jaga masih bisa dinikmati generasi-generasi baru nusantara.

“Saya ini sudah tua. Saya terus berpikir apa yang bisa saya wariskan sepeninggal saya nanti. Ya mungkin ini yang saya bisa,” kata mantan jurnalis ‘Terompet Masyarakat’ yang pernah jadi eks tahanan politik dan diasingkan di pulau Buru bersama Pramoedya Ananta Toer ini.

Oei Hiem Hwie salah satu tokoh pegiat literasi, sekaligus pelaku sejarah yang setiap hari masih menyempatkan waktu untuk membuat kliping dan menjaga koleksi manuskrip di perpustakaannya.

Pada usia nya ke 87, ia ingin menjaga koleksinya agar anak muda bisa mengakses dokumen asli sejarah.

Di Perpustakaan Medayu Agung terdapat koran terbitan berbahasa Indonesia dan Mandarin tahun 1959-1980. Di antaranya Suara Rakjat, Pewarta Soerabaia, Api Pantjasila, Ampera, Suluh Indonesia, Manifesto, Kengpo, Kedaulatan Rakyat, Djawa Pos, Surabaja Post, hingga Merdeka.

Hampir semua manuskrip kuno bisa ditemukan di Perpustakaan Medayu. Mulai dari koleksi Buku Soekarno, Adam Malik hingga buku asli tetralogi Buru milik Pramoedya Ananta Toer.

“Banyak mahasiswa yang kemari. Dari FISIP, sastra, sejarah. Dari luar kota juga ada. Itu deretan skripsi yang sudah mereka buat (sambil menunjuk rak sudut atas),” tuturnya dengan artikulasi yang agak terpatah-patah.

Karena kecintaan Hwie pada membaca dan mengarsip buku-buku, Hwie akhirnya bertemu Haji Masagung, Tionghoa Muslim yang dikenal sebagai pendiri Toko Buku Gunung Agung dan Perpustakaan Yayasan Idayu. Hwie pun akhirnya mendapat pekerjaan sebagai sekretaris pribadi Haji Masagung.

Selama bekerja bersama Haji Masagung itulah Hwie melanjutkan kesenangannya mengkliping koran dan mengoleksi berbagai buku dan majalah yang ada di Indonesia.

Berkat Haji Masagung jugalah Hwie didorong untuk bisa mendirikan perpustakaannya sendiri yang kini bernama Medayu Agung di Perumahan Kosagrha Jalan Medayu Selatan IV/42-44, Rungkut, Surabaya.

Koleksi Hwie terbilang sangat lengkap.

“Dulu waktu Belanda pergi meninggalkan Indonesia banyak buku-buku mereka yang ditinggalkan begitu saja. Buku-buku tersebut diambil oleh Engkong saya. Disimpan dan akhirnya diserahkan ke saya waktu saya remaja,” ungkapnya.

Begitu lengkapnya koleksi Perpustakaan Medayu Agung, tahun 1999 ada kolektor buku-buku sejarah dari Australia yang datang dan menawarkan uang Rp1 miliar untuk membeli seluruh koleksi Hwie. Tapi dia menolak.

“Saya enggak kasih bukan saya enggak butuh uang. Nanti kalau sejarah Indonesia dibolak-balik gimana, wah bisa kacau,” kata Hwie sambil tertawa.

Hwie berencana untuk melakukan digitalisasi koleksi yang dia miliki. Cara ini menurutnya yang paling cocok untuk bisa tetap memberi akses pada generasi muda terhadap koleksinya. Tapi bagaimana pun dibutuhkan dana dan tahapan yang tak mudah lagi bagi Hwie di usia 87 tahun ini.

Perpustakaan Medayu Agung buka setiap Senin-Sabtu mulai pukul 09.00-14.00 WIB. Hwie sendiri yang menjaga perpustakaan dan dibantu enam pegawainya. (tha/iss)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
27o
Kurs