Bertepatan dengan momentum peristiwa 11 Maret 56 tahun lalu, yang dikenal dengan penyerahan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar), Komunitas Ngobrol Pintar gelar History Class dengan tema “Soekarno dan Supersemar” di Cafe Historisma, Kota Surabaya.
Diskusi oleh 50 peserta yang sudah registrasi sejak dua minggu sebelumnya,” beber Aven Januar, koordinator panitia kepada media, Senin (14/3/2022).
Hadir sebagai pembicara yakni Eko Sulistyo, Sejarahwan dan juga Komisaris PT PLN, Henky Kurniadi, budayawan Jawa Timur, dan Dr. Moch Mubarrok, Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Surabaya.
Didampingi oleh moderator Edward Dewaruci, advokat senior surabaya yang juga ketua KAPT Jatim dan Aven Januar, kegiatan ini terselenggara berkat kerjasama Komunitas Ngobrol Pintar bersama PT PLN.
“Memahami Sejarah masa lalu, merupakan cara yang paling efektif untuk mendapatkan perspektif baru tentang kehidupan masa kini dan masa depan,” papar Eko Sulistyo dalam kesempatan pertama berbicara.
Eko yang juga mantan Deputy 4 Kantor Staf Kepresidenan (KSP) ini menambahkan bahwa ada beberapa sudut pandang dalam peristiwa sejarah supersemar. Sudut pandang pertama yang selalu dibahas banyak pengamat adalah polemik yang melingkari peristiwa bersejarah tersebut.
“Tapi bagi saya, sudut pandang yang lebih rasional adalah posisi Soekarno yang saat itu “wajib” dijatuhkan oleh dunia barat, mengapa begitu karena potensi sumberdaya alam Indonesia yang sedemikian besar, sehingga supersemar adalah bagian dari konspirasi besar negara-negara barat untuk mencoba merebut kembali potensi Indonesia tersebut,” jelas Eko.
Pada kesempatan kedua, Henky Kurniadi memaparkan secara jelas bahwa Soekarno saat jelang 1966 itu, sebenarnya dengan ideologi nasionalisnya anti kolonialisme, hal tersebut yang bagi negara barat dianggap mendukung komunisme atau kutub timur. Yang mana justru Soekarno berusaha tetap setia menolak ideologi timur maupun ideologi barat, dengan mengusung gerakan non blok.
“Diawal 1960-an, blok barat memunculkan ide dasar pertama tentang globalisasi dan free market (pasar bebas), tapi disaat bersamaan Soekarno berkampanye menolak ide dasar Globalisasi itu. Soekarno melihat itu adalah bentuk baru dari penjajahan gaya baru atau neokolonialisme,” papar Henky yang juga mantan DPR RI Periode 2014-2019 ini.
Dengan latar belakang itulah, Henky meyakini bahwa blok barat mulai menyusun skenario besar untuk konspirasi bersama beberapa pendukung utamanya di dalam pemerintahan Soekarno untuk menjatuhkan kekuasaan Soekarno di Indonesia.
“Terkait supersemar, selalu dikaitkan dengan adagium, bahwa sejarah adalah ditulis dan dikonstruksi hingga dinarasikan oleh para pemenang, padahal itu belum tentu kebenaran,” papar Dr Mubarok pada kesempatan ketiga.
Mengapa begitu? Mubarok yang juga mantan Aktifis mahasiswa PMII ini menjelaskan, bahwa hal tersebut muncul dikarenakan banyaknya kepentingan yang melingkari narasi supersemar yang bagi orde baru dibawah kepemimpinan Soeharto untuk memperkuat legitimasi kekuatannya sendiri.
“Munculnya konspirasi Supersemar itu dikarenakan adanya dua faktor utama yakni intervensi kekuatan asing khususnya blok barat, dan yang kedua adalah peristiwa politik itu unpredictable waktu itu, termasuk soekarno yang begitu kuat bisa dengan cepat mengalami fase kejatuhannya,” papar Mubarok.
Radian Jadid, Kepala Sekolah Rakyat Kejawan, mengapresiasi kegiatan tersebut.
“Membaca dan mencermati sejarah adalah penting karena masa kini terbangun dari peristiwa masa lalu. Sejarah penting sebagai referensi menapak masa depan. Sejarah itu penting tapi juga harus dikonteksasi dengan apa yang ada, tidak sekadar teks belaka,” ujarnya.
Jadid mengatakan sejarah itu adalah masa lalu, dan yang lebih penting adalah masa kini dan masa depan dan jangan terlalu terpaku pada sejarah dan masa lalu.
“Kalau mau kita bisa bikin sejarah, Kita lakukan apa yang bisa kita lakukan dan perbuat, untuk berkontribusi pada kebaikan dan peningkatan kualitas sosial kemasyarakatan. Nantinya akan menjadi catatan sejarah, setidaknya oleh kita, keluarga atau teman dekat kita, lebih dari itu kalau kita bisa membuat catatan, memoar, artikel dan sebagainya akan bisa dibaca oleh orang lain, saat ini dan juga di masa depan. Apalagi di era digital dewasa ini,” kata Jadid. (man/ipg)