Istilah kesenian ludruk semakin pudar di mata masyarakat, sepertinya tidak berlaku bagi warga Kota Surabaya. Pasalnya, gelaran kesenian ludruk dalam rangka Hari Jadi Kota Surabaya (HJKS) ke-729 di Balai Budaya, Minggu (29/5/2022), justru dipenuhi penonton yang mayoritas anak-anak muda.
Sekitar pukul 18.00 WIB, bahkan antrean penonton sudah terlihat mengular di pintu masuk Balai Budaya. Selain itu, gelaran yang semula dijadwalkan pukul 19.00 WIB itu, dimulai 10 menit lebih cepat ketika jumlah kursi yang disediakan hampir terisi penuh oleh penonton.
Tari Remo yang disuguhkan sebagai tampilan pembuka, langsung menyita perhatian dengan banyaknya suara tepuk tangan dari penonton, yang juga mengabadikannya menggunakan kamera ponsel masing-masing
Salah satunya Eca, mahasiswa semester 2 Sastra Inggris Universitas Airlangga (Unair) yang tidak berhenti merekam penampilan tersebut. Dia mengaku rindu melihat kesenian ludruk khususnya di Kota Surabaya.
“Terakhir sudah lama, beberapa tahun lalu di Malang, karena saya asli Malang. Pas tahu ada tampilan di Balai Budaya jadi datang,” kata mahasiswa asli Malang itu kepada suarasurabaya.net, Minggu (29/5/2022).
Setelah Tari Remo, selanjutnya giliran penampilan kidung oleh Ludruk Putra Taman Hira yang kembali mengundang gelak tawa seluruh penonton. Terlebih ketika dua penampil ludruk itu saling berbalas parikan.
“Tuku kerupuk diadahi tampah, mugo-mugo sing ndelok ludruk dikeki rejeki barokah,” ujar dua personel yang tampil membawakan parikan dengan khas bahasa Jawa, khususnya Surabaya itu.
Seluruh penonton Balai Budaya sontak tertawa dan memberikan tepuk tangan. Salah satunya Dara, mahasiswa semester 4 Universitas Negeri Surabaya (Unesa) yang mengaku baru pertama kali menonton kesenian ludruk, tetapi justru terlihat sangat menikmati kelucuan yang ditampilkan di atas panggung.
“Baru in, pengen saja lihat,” ujarnya sambil tersenyum.
Sementara itu, gelaran kesenian Ludruk Putra Taman Hira tersebut dibawakan total 35 pemain yang hampir seluruhnya merupakan remaja. Cerita yang dibawakan, berseting pada zaman Kolonial Belanda saat mencari rempah-rempah di Indonesia pada tahun 1602, yang diakui para pemain menjadi tantangan tersendiri.
Ricky Veka Sutradara Ludruk Putra Taman Hira mengaku, tampilan kesenian ludruk kali ini memiliki tantangan yang cukup berat.
“Berat karena anggota Ludruk Putra Taman Hira ini mayoritas anak-anak, remaja apalagi berkulit hitam,” ujar Ricky sambil tertawa di tengah latihannya menjelang pentas.
Setelah membaca berbagai sumber terkait cerita sejarah yang akan ditampilkan, Ricky mengaku ada bagian-bagian yang dihilangkan serta diubah, namun tidak menghilangkan pesan yang ingin disampaikan.
“Tentara Belanda dihilangkan, tetapi kapten ada. Kapten kerja sama dengan penduduk lokal yang berpihak dengan Belanda. Lalu Kapten menyuruh bawahannya untuk minta setoran rempah agar diperbanyak padahal kondisi petani Indonesia gagal panen. Semula janjinya, gagal panen akan ditanggung Kolonial tetapi ternyata dikembalikan pada petani,” ujar Ricky memaparkan singkat cerita yang akan ditampilkan.
Pesan yang ingin disampaikan dalam gelaran ludruk kali ini, memberikan semangat berjuang bagi para petani.
“Endingnya kita buat menggantung. Seharusnya yang menang adalah Belanda. Tapi nanti tidak terlihat perjuangannya. Akhirnya kita buat, ada petani yang meninggal dan juga meninggalkan pesan untuk tetap berjuang,” tambah Ricky.
Sementara itu, Sugeng Rogo Pendiri Ludruk Putra Taman Hira yang mendampingi langsung anak-anak didikannya mengaku senang, setelah sempat terhalang pandemi akhirnya bisa tampil dengan penonton. Rogo sangat yakin bahwa gelaran ludruk ini ditunggu-tunggu oleh penonton khususnya anak-anak muda.
“Kesenian ludruk ditinggalkan itu nonsense. Kalau Ludruk Putra Taman Hira yang main, full penontonnya rata-rata anak muda, nanti lihat sendiri menjelang dimulai,” ujar Rogo sebelum gelaran dimulai. (lta/bil)