Momen Hari Pangan Sedunia, BRIN Sampaikan Tiga Opsi Mencegah Kelangkaan Pupuk

Hari ini, Minggu (16 Oktober 2022), Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia atau Food and Agriculture Organization (FAO) yang dibentuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berusia 77 tahun.

PBB mendirikan FAO pada 16 Oktober 1945, untuk menyelesaikan permasalahan pangan dan pertanian dunia. Sehingga setiap tanggal 16 Oktober diperingati sebagai Hari Pangan Sedunia.

“Tahun ini, peringatan Hari Pangan Sedunia berhadapan dengan penuh tantangan karena dunia sedang menuju krisis global akibat berbagai tekanan,” ujar Destika Cahyana Peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dikutip dari Antara, Minggu (15/10/2022).

Tantangan pertama, resonansi konflik Rusia-Ukraina sebagai negara penghasil pangan, pupuk, dan energi fosil penting. Konflik tersebut berdampak pada distribusi pangan, pupuk, dan energi.

Kedua, perubahan iklim sehingga produksi pertanian terganggu karena banjir, kekeringan, maupun ledakan hama dan penyakit yang sulit diprediksi.

Tantangan ketiga, penggunaan pupuk anorganik dan pestisida yang berlebihan.

Dampaknya produktivitas pertanian seperti stagnan, bahkan pada beberapa kasus merosot meskipun beragam input berupa inovasi dan teknologi baru yang mampu mendongkrak produktivitas telah ditemukan.

Benih unggul temuan para ilmuwan seperti tak berdaya berhadapan dengan lahan yang terdegradasi. Terakhir, keempat, dampak pandemi COVID-19 masih terasa meskipun titik terang mulai terlihat.

“Tekanan krisis global itu dirasakan semua negara baik negara lemah, negara berkembang maupun negara maju termasuk Indonesia. Untungnya sektor pertanian Indonesia memiliki rekam jejak yang baik ketika Indonesia menghadapi tekanan COVID-19,” paparnya.

Di sisi lain, sektor pertanian tetap tumbuh positif walau sektor lainnya negatif. Pengalaman itu sepatutnya menjadi modal para praktisi pertanian untuk tetap optimistis.

Terkait potensi kelangkaan pupuk yang bisa terjadi di masa depan, Destika bilang ada tiga strategi antisipasi yang bisa dilakukan Indonesia.

Pertama, kelangkaan pupuk anorganik bisa disiasati dengan memanfaatkan pupuk organik dan pupuk anorganik lokal.

Kehilangan nutrisi tanah paling besar karena biomasa seperti bunga, buah, daun, cabang, batang, dan akar. Tujuan pemberian pupuk adalah untuk mengembalikan nutrisi ang hilang dari tanah karena terbawa panen.

Kemudian biomasa diangkut saat panen ke pasar dan selanjutnya didistribusikan pada konsumen. Di pasar sebagian biomasa menjadi sampah pasar karena proses sortir untuk memilih hasil panen yang baik saja yang dijual pada konsumen.

Menurut Destika, banyak nutrisi pada biomassa berujung menjadi sampah karena pengelolaannya kurang baik. Sehingga pengelolaan sampah pasar organik secara terbuka membuat cairan nutrisi biomasa hilang dan dapat mencemari lingkungan terutama perairan.

Sampah pasar organik yang diolah menjadi kompos sejatinya tinggal menyisakan bahan-bahan yang sudah minim nutrisi.

Tentu kompos tersebut tetap berguna diberikan ke dalam tanah, tetapi sebagai pemasok nutrisi kandungannya sangat rendah. Kompos tersebut hanya memperbaiki sifat fisika tanah.

Pengolahan sampah pasar organik yang baik adalah sistem tertutup yang dimulai dengan pemilahan serta menampung cairan dari biomassa yang mengandung nutrisi. Cairan nutrisi tersebut dapat menjadi pupuk cair atau dicampurkan kembali dengan kompos asal bahan organik padat yang telah jadi.

Kedua, pasokan pupuk anorganik dapat dilengkapi dengan pupuk anorganik yang tersedia di seluruh Indonesia.

Ketiga, Indonesia terutama Pulau Jawa diuntungkan karena memiliki banyak gunung berapi yang selalu memuntahkan material vulkanik.

Pascaletusan gunung berapi, penduduk setempat menambang material vulkanik untuk bahan bangunan.

Mereka memilih material berukuran pasir untuk bahan bangunan, tetapi membiarkan material vulkanik yang lebih halus yaitu yang berukuran abu. Material halus itu sejatinya berpotensi digunakan sebagai pupuk anorganik.

Selama berabad-abad material tersebut selalu meremajakan tanah di seputar gunung berapi sehingga kesuburannya tetap terjaga. Gunung berapi tersebut seperti Gunung Sinabung, Gunung Merapi, Gunung Semeru sebenarnya adalah pabrik pupuk gratis yang disediakan Tuhan untuk Bangsa Indonesia.

Tentu harus dilakukan identifikasi kandungan nutrisi pada abu yang dimuntahkan gunung-gunung berapi di Indonesia agar penggunaannya sebagai pupuk di tanah-tanah pertanian Indonesia dapat sesuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, Kusumo Nugroho mantan peneliti tanah dari Kementerian Pertanian menawarkan alternatif pemupukan dengan stonemeal alias debu batu atau tepung batu yang kaya fosfor, kalsium, magnesium, kalium, dan mikronutrien lainnya.

“Dengan cara, batuan yang kaya unsur tersebut dihaluskan menjadi tepung agar dapat berinteraksi dengan tanah sehingga berperan menjadi pupuk,” lanjut Kusumo.

Menurutnya, banyak penelitian mengungkap stonemeal memberi banyak keuntungan ekonomi dan lingkungan pada pertanian jagung, padi, singkong, tebu, buah dan sayuran dibanding pemupukan konvensional.

Tentu dibutuhkan ahli tanah dan geologi untuk mengidentifikasi lokasi yang berlimpah batuan yang kaya nutrisi tersebut.

Batu yang berasal dari daerah vulkan biasanya mengandung nutrisi sehingga dapat dimanfaatkan untuk pemupukan anorganik.

Sejarah penggunaan tepung batu di Indonesia sebetulnya bukan hal baru. Pemanfaatan batuan fosfat atau batuan kapur yang dihaluskan sudah banyak dilakukan petani-petani di Indonesia.(ant/tik/dfn/rid)