Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan pengujian Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang diajukan Umar Husni.
Putusan perkara Nomor 28/PUU-XX/2022 dibacakan Anwar Usman Ketua Majelis, siang hari ini, Senin (31/10/2022), dalam persidangan yang berlangsung di Gedung MK, Jakarta Pusat.
“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Usman saat membacakan amar putusan.
MK menyatakan frasa batal demi hukum dalam ketentuan norma Pasal 143 Ayat (3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 76, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209), bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.
Hal itu sepanjang tidak dimaknai terhadap surat dakwaan jaksa penuntut umum yang telah dinyatakan batal, atau batal demi hukum oleh hakim dapat diperbaiki, dan diajukan kembali dalam persidangan sebanyak satu kali.
Kalau masih diajukan keberatan oleh terdakwa/penasihat hukum, hakim langsung memeriksa, mempertimbangkan dan memutusnya bersama-sama dengan materi pokok perkara dalam putusan akhir.
Sebelumnya, pemohon mendalilkan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3) dan Pasal 280 Ayat (1) UUD 1945.
Menurut Umar Husni, secara sepintas ketentuan Pasal 143 Ayat (3) KUHAP terlihat jelas. Tapi, praktiknya menimbulkan pengertian multitafsir dan melanggar asas lex certa serta asas lex stricta sebagai asas umum dalam pembentukan perundang-undangan pidana.
Pemohon menjelaskan, kejadian yang dialaminya juga terjadi pada kasus lain di antaranya perkara dengan terdakwa Ali Rofi yang didakwa sebanyak tiga kali dan terdapat tiga putusan Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. Serta, tiga putusan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkan putusan PN Purwokerto.
Kejadian itu, kata Umar akibat tidak jelasnya pengertian dan tafsir norma atau konsep batal demi hukum yang terdapat dalam Pasal 143 Ayat (3) KUHAP.
Elastisitas norma itu digunakan secara sewenang-wenang oleh negara dan seluruh aspeknya telah merugikan pemohon yang telah didakwa berkali-kali untuk hal yang sama.
Kemudian, Pasal 156 Ayat (3) KUHAP merupakan bentuk upaya hukum dari jaksa penuntut umum setelah surat dakwaan dinyatakan batal demi hukum.
Jaksa penuntut umum memiliki kewenangan untuk mengajukan surat dakwaan, kemudian memberikan tanggapan atas eksepsi terdakwa dan mengajukan perlawanan atas putusan sela yang menyatakan dakwaan batal demi hukum. (rid/bil/ipg)