Fenomena Quiet Quitting yang muncul sejak pandemi Covid-19 adalah karyawan yang hanya melakukan pekerjaan yang diberikan bos, dengan tidak melampaui job description / bekerja seperlunya sesuai dengan kompensasi dan apresiasi yang diperoleh.
Namun, Fenika Wulani, Dosen Manajemen Sumber Daya Manusia Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya mengatakan, Quiet Quitting bisa diminimalisir dari perusahaan dan karyawan.
“Kan ada 3 akar permasalahan, yakni pekerjaan, tuntutan, banyaknya pekerjaan. Oleh karena itu, manajer perusahaan harus mengetahui adanya perubahan nilai-nilai kerja seperti harapan karyawan, pengelolaan jam kerja, ada berapa banyak pekerjaan, dan sebagainya. Itu yang harus diberitahukan saat menyeleksi pegawai baru,” jelasnya, saat mengudara di program Wawasan Radio Suara Surabaya, Rabu (28/9/2022).
Menurutnya, yang perlu ditumbuhkan adalah perusahaan harus mencari orang-orang dengan nilai-nilai yang cocok dengan pekerjaan yang ditawarkan dan memiliki etos kerja serta semangat yang tinggi tanpa perlu dinilai.
Selain itu, Fenika menjelaskan Quiet Quitting bisa muncul karena saat pandemi, terjadi hal yang tidak mengenakkan seperti banyak karyawan yang terkena PHK, kesulitan mencari pekerjan, dan kesulitan ekonomi.
“Sewaktu pandemi mereka kerja WFH, ditambah usia yang masih muda dan memiliki kesempatan berkembang yang besar. Sehingga saat di pekerjaan mereka tidak mendapat umpan balik, penghargaan, dan pengakuan, disitulah mereka lebih memilih untuk Quiet Quitting,” jelasnya.
Sebelumnya tren tersebut banyak menimbulkan sisi pro dan kontra. Banyak yang menilai Quiet Quitting adalah hal yang positif, karena membatasi pekerjaan sesuai dengan porsinya, sehingga dapat menciptakan kondisi work-life balance.
Namun tak jarang masyarakat juga menilai tren tersebut adalah hal yang negatif, karena menyebabkan seseorang kurang termotivasi dalam menjalankan perannya sebagai karyawan dan menyebabkan terhambatnya pertumbuhan jenjang karir.
Untuk informasi, Quiet Quitting sejatinya telah ada sejak beberapa tahun yang lalu, namun sejak 2-3 bulan bekalangan, tren tersebut kembali viral melalui tiktok. (des)