Video yang sempat viral beberapa waktu, saat seorang pengendara motor menggedor kaca mobil untuk meminta uang secara paksa, menggambarkan masyarakat masih dihantui rasa was-was meski di jalan yang merupakan tempat ramai.
Berbeda dengan kejahatan kerah putih, kejahatan jalanan selalu menimbulkan keresahan dan was-was yang tinggi, meski kejahatan elit derajat kejahatannya lebih berat. Hal itu disampaikan oleh Priyo Djatmiko Dosen Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Malang.
Ia mengatakan, jika white colour crime (kejahatan elit) dilakukan karena keserakahan, blue colour crime (kejahatan jalanan) mayoritas disebabkan karena kebutuhan.
“Kejahatan jalanan itu sudah sejak dulu ada, dan biasanya itu karena ada needs (kebutuhan). Berbeda dengan white colour crime yang karena keserakahan,” kata Priyo dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, Jumat (18/2/2022).
Oleh karena itu, kejahatan jalanan sulit dihilangkan selama akar masalahnya belum terpenuhi. Penyelesaian dengan menahan atau memenjarakan pelaku kejahatan jalanan, bukan jaminan bahwa pelaku tidak akan mengulanginya kembali.
“Kejahatan jalanan itu penyelesaiannya parsial saja. Ditangkap, ditahan. Ditembak kakinya, ditahan. Hukum jadi tempat sampah saja untuk menyelesaikan masalah,” lanjutnya.
Ia menambahkan, “Ketika mereka habis ditahan, keluar tidak ada pekerjaan padahal ada tuntutan kebutuhan dasar, mereka bisa melakukannya lagi. Tidak bisa sekadar ditahan, lalu dilepas”.
Menurutnya, perlu penyelesaian yang komprehensif terkait banyaknya kasus kejahatan jalanan. Pembinaan yang diberikan di lapas seperti memberikan keterampilan, lanjutnya, bukan jaminan bahwa pelaku akan berhenti melakukan kejahatan saat bebas.
“Tapi kan tidak hanya keterampilan, juga butuh modal. Tapi kalau tidak ada bank yang menjamin, fasilitas nggak ada, orang mau diajari menjahit, bikin keset, celana ya bagaimana?” tuturnya.
Itu lah yang membuat kasus kejahatan jalanan banyak terjadi di negara-negara berkembang, seperti Indonesia. Salah satunya karena masalah ini terstruktur dalam situasi ekonomi dan kondisi sosial negara.
Apalagi saat hukum tidak ditegakkan dan masyarakat terus dihantui rasa takut akan kejahatan, maka yang terjadi adalah kontrol sosial yang cenderung negatif seperti main hakim sendiri. Padahal sebagai negara hukum, harusnya setiap kejahatan harus melalui proses penyidikan.
“Dalam teori kriminologi, ketika hukum tidak bekerja, maka yang bekerja kontrol sosial. Main hakim sendiri misalnya, ketangkap, dibong (dibakar), selesai. Itu reaksi sosial yang negatif,” ungkapnya.
Padahal, sebenarnya ada kontrol sosial yang bersifat positif seperti menjadi polisi bagi diri sendiri. Hal itu lah yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang, untuk tidak berpartisipasi dalam kejahatan. Salah satunya dengan tidak mudah percaya dengan orang asing.
“Ada kejahatan itu karena partisipasi korban. Jadi seperti memancing, pamer kekayaan dan lainnya. Paling tidak jadi polisi bagi diri sendiri. Belajar untuk tidak mudah percaya dengan orang lain,” ujarnya.(tin/ipg)