Indonesia berencana mengusung kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota (kontraktual), dengan konsep ekonomi hijau namun mengarah kuat pada indikasi privatisasi, setelah terpilih sebagai presidensi G20.
“Ada suara kekhawatiran privatisasi ruang laut yang akan berdampak pada nelayan miskin dan nelayan tradisional,” ungkap Prof. Bagong Suyanto Dekan FISIP Universitas Airlangga pada suarasurabaya.net, Senin (11/4/2022).
Rencana kebijakan perikanan terukur berbasis kuota yang akan dikontraktualkan, nantinya berbentuk peraturan pemerintah (PP) sebagai turunan UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. Selain itu, juga draf PP No 27/2021 yang berisi tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan.
Nantinya, laut nusantara akan dibagi ke dalam 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia (WPP-NRI), yakni 7 zona perikanan industri, 3 zona nelayan lokal, dan 1 zona perlindungan (spawning and nursery ground).
Model kebijakan sistem kuota ini dikampanyekan untuk mencegah eksploitasi berlebihan dan menjamin keberlanjutan sumber daya ikan.
Meski demikian, Bagong khawatir kebijakan ini akan merugikan nelayan tradisional.
“Masalahnya, dibatasi itu memang demi ekosistem laut atau demi siapa. Sementara nelayan tradisional akan menjadi korban pertama paling menderita. Kan harus jelas siapa yang merusak ekosistem laut dan tidak,” jelasnya.
Berkembang sebuah narasi, bahwa program ini ditujukan untuk memerangi praktik perikanan ilegal, pemerataan distribusi pertumbuhan ekonomi di wilayah pesisir, pengentasan warga dari kemiskinan, dan menjamin kesehatan laut jangka panjang.
Sayangnya, dalam hal kebijakan model kuota ini, hak kepemilikan sumber daya perikanan bersama (common poolresources) berubah menjadi hak individu/privat (private propertyright) yang ecara ekonomi politik disebut privatisasi perikanan.
“Dibalik privatisasi pasti ada kekuatan komersial yang terlibat. Tindakan komersial yang kapitalistik akan membatasi ruang gerak nelayan miskin dan tradisional,” paparnya.
Celakanya, draf kebijakan perikanan terukur lebih berorientasi ekspor untuk mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP), sebesar Rp12 triliun hingga 2024. Mengabaikan UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, hingga kelembagaan perikanan komunitas (adat).
“Beberapa sejarah dan pengalaman menunjukkan, begitu ada intervensi kekuatan modal selalu mengancam kelangsungan masyarakat lokal,” tuturnya.
Bagong menyebutkan, kebijakan ini akan membatasi ruang gerak nelayan miskin dan nelayan tradisional. Sehingga sumber daya laut yang bisa di akses oleh nelayan miskin dan nelayan trsdisional akan makin berkurang
“Nah itu yang bahaya karena akan memperparah proses marginalisasi nelayan tradisional dan nelayan miskin di pesisir pantai,” imbuhnya.
Berdasarkan data pada Februari 2022, zona perikanan industri fokus pada WPP-NRI di atas 12 mil laut, alias perairan laut lepas dan zona ekonomi eksklusif Indonesia (ZEEI).
Rinciannya adalah WPP-NRI 572 (Samudera Hindia sebelah barat Sumatera & Selat Sunda), 573 (Samudera Hindia, Selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, & Laut Timor bagian barat), dan 711 (Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Cina Selatan). Lalu, WPP-NRI 715 (Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, & Teluk Berau), 716 (Laut Sulawesi & sebelah Utara Pulau Halmahera), 717 (Teluk Cendrawasih & Samudera Pasifik), dan 718 (Laut Aru, Laut Arafuru, & Laut Timor bagian Timur. Yang unik, WPP-NRI 715 tak memiliki ZEEI.
Bagong mengingatkan agar pemerintah berhati-hati dan melakukan pengkajian ulang. Karena menurutnya, hal ini ditakutkan juga akan menimbulkan konflik dikalangan masyarakat adat.
“Wewenang adat akan berkonflik dengan kebijakan privatisasi ruang publik. Karena kalau sampai apa yang jadi kewenangan masyarakat adat daimbil alih oleh kekuatan komersial dan kelembagaan, pasti akan muncul resistensi dari masyarakat adat. Sebagai bentuk perlawanan atas perampasan ruang laut yang memiliki nilai sakral bagi mereka,” jelas dia.
Dampak kebijakan privatisasi laut, menurut Bagong tidak hanya berdampak pada kerusakan ekosistem laut. Tapi juga memperngaruhi kelangsungan hidup masyarakat lokal. Hal inilah yang harus diantisipsi oleh pemerintah.
“Presidensi Indonesia G20 merupakan kesempatan yang harus di manfaatkan untuk Menyusun agenda-agenda yang tidak hanya menyelesaikan isu publik tapi juga solutif untuk isu-isu nasional. Seperti pedang bermata dua. Di satu sisi agenda global, tapi juga harus mengetengahkan manfaat yang didapat untuk Indonesia,” pungkasnya. (tha/bil/ipg)