Charles Honoris Wakil Ketua Komisi IX DPR RI menilai Indonesia harus sudah memulai kajian tentang manfaat tanaman ganja (Cannabis sativa) untuk kepentingan medis. Hal ini menyusul viralnya foto Pika, anak penderita cerebral palsy, bersama ibunya yang menyampaikan aspirasi butuh ganja medis untuk pengobatan, saat car free day di Jakarta.
“Kajian medis yang obyektif ini akan menjadi legitimasi ilmiah, apakah program ganja medis perlu dilakukan di Indonesia,” kata Charles dalam keterangannya, Selasa (28/6/2022).
Charles mengatakan, pada akhir 2020 Komisi Narkotika PBB (CND) sudah mengeluarkan ganja dan resin ganja dari Golongan IV Konvensi Tunggal tentang Narkotika tahun 1961. Artinya, ganja sudah dihapus dari daftar narkoba paling berbahaya yang tidak memiliki manfaat medis.
“Sebaliknya, keputusan PBB ini menjadi pendorong banyak negara untuk mengkaji kembali kebijakan negaranya tentang penggunaan tanaman ganja bagi pengobatan medis,” jelasnya.
Menurut Charles, di dunia kini terdapat lebih dari 50 negara yang telah memiliki program ganja medis, termasuk negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
“Terlepas Indonesia akan melakukan program ganja medis atau tidak nantinya, riset adalah hal yang wajib dan sangat penting dilakukan untuk kemudian menjadi landasan bagi pengambilan kebijakan atau penyusunan regulasi selanjutnya,” jelasnya.
Dia berpandangan riset medis harus terus berkembang dan dinamis demi tujuan kemanusiaan.
“Demi menyelamatkan kehidupan Pika, dan anak penderita radang otak lain, yang diyakini sang ibunda bisa diobati dengan ganja. Negara tidak boleh tinggal berpangku tangan melihat ‘Pika-Pika’ lain yang menunggu pemenuhan hak atas kesehatannya,” pungkas Charles.(faz/ipg)