Adnan Topan Husodo peneliti Indonesia Corruption Watch menilai upaya aparat dalam memiskinkan afiliator kasus investasi ilegal tampak begitu garang, berbanding terbalik dengan upaya penyitaan aset koruptor yang melempem.
“Kalau lihat kasus korupsi harapan publik koruptor itu dimiskinkan. Tapi upaya penegakan hukumnya tidak mengarah ke sana karena ada banyak alasan. Mulai dari persoalan teknis, alasan yang lebih pada kemampuan dan niat kuat dari penegak hukum untuk menggunakan berbagai instrumen hukum yang tersedia untuk memiskinkan koruptor,” kata Adnan dalam program Wawasan di Radio Suara Surabaya, Rabu (16/3/2022).
Padahal merujuk data ICW, Adnan mengatakan, total nilai kerugian yang didapat negara dari kasus korupsi tiap tahun hanya 20-30 persen. Bila dalam hitung-hitungan bisnis, ini termasuk bleeding karena ada biaya operasional penegak hukum yang dibebankan ke APBN.
Data ICW juga menyebut dari sekitar 500 tindak pidana korupsi tiap tahun yang berhasil diproses ke pengadilan menggunakan UU Tindak Pencucian Uang hanya 5-6 kasus.
Sementara dalam payung hukum penyitaan aset di Indonesia, instrumen penegakan hukumnya sudah cukup memadai.
“PPATK adalah salah satu instrumennya, di mana dalam UU Pencucian Uang itu bisa diterapkan terhadap pelaku korupsi,” ujarnya.
Indonesia punya dua landasan hukum yang dapat digunakan untuk memiskinkan koruptor, yaitu UU Pencucian Uang dan RUU Perampasan Aset, tergantung pendekatan hukum yang dipakai. Bahkan menurut Adnan, keduanya bisa dipakai secara paralel untuk menjerat antara kejahatan utama dengan pencucian uang tergantung dari pendekatan hukum yang diyakini ada dua.
“Perampasan aset ada dua yaitu pidana dan non pidana. Kalau pidana, penegak hukum harus punya kasus pidana yang ditangani untuk sampai kepada menelusuri aset-aset pelaku kejahatan. Tapi kalau yang non pidana, tanpa proses hukum untuk aset yang tidak jelas dikendalikan oleh siapa dan pelakunya sudah lari ke luar negeri itu tetap dirampas oleh negara dengan mekanisme,” terangnya.
Adnan menambahkan, ada mekanisme beban pembuktian terbalik di pengadilan yang dapat digunakan penegak hukum dan hakim, untuk merampas aset koruptor apabila tidak dapat menunjukkan asal-usul kepemilikan secara sah.
“Kita menganut beban pembuktian terbalik setengah, bukan penuh, artinya di pengadilan terdakwa harus membuktikan bahwa aset yang dia punya atau keluarganya bukan berasal dari tindak pidana kejahatan. Sebenarnya ini jadi kekuatan bagi penegak hukum karena tidak perlu membuktikan terlebih dulu bahwa aset yang disita dari kejahatan tapi justru yang membuktikan adalah terdakwanya sendiri,” terangnya.
Dia pun secara tegas mendukung perampasan aset harus menjadi standing baru dalam penegakan kejahatan korupsi di Indonesia.
“Tidak lagi follow the suspect tapi primary approach-nya harus follow the money. Kalau follow the money ada shifting paradigma dari penegak hukum. Yang kedua kita perlu memodernisasi penegak hukum mulai dari KPK, Kejaksaan dan Kepolisian kalau selama ini mengejar aktor, sekarang mengejar aset dari kejahatan,” pungkasnya.(dfn/rst)