Penyidik Polri memilih untuk tidak mengungkapkan hasil uji kebohongan atau Poligraf yang dijalani oleh Putri Candrawathi, tersangka pembunuhan Brigadir J pada Selasa (6/9/2022) lalu .
Padahal tiga tersangka lainnya yaitu Bharada Richard Eliezer, Bripka Ricky Rizal dan Kuat Ma’ruf yang sudah terlebih dahulu menjalani uji poligraf dengan hasil no deception indicated atau keterangan yang disampaikan kepada penyidik jujur, diungkap ke publik.
Brigjen Pol. Andi Rian Djajadi Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri menjelaskan alasan tidak diungkapkannya kepada publik hasil pemeriksaan uji kebohongan terhadap Putri Candrawathi.
“Saya melihat justru analisis liar dari media dan pengamat yang tidak paham teknis pascapelaksaaan uji poligraf,” kata Andi saat dikonfirmasi Antara melalui pesan instan, Kamis (8/9/2022).
Menurut Andi, semua fakta yang diperoleh dari penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Dittipidum Bareskrim Polri akan diungkapkan di persidangan.
“Toh juga semua fakta akan diungkap di pengadilan,” kata Andi yang juga Ketua Tim Penyidik Tim Khusus bentukan Kapolri.
Andi mengamini apa yang disampaikan oleh Irjen Pol. Dedi Prasetyo Kepala Divisi Humas Polri terkait standarisasi dan aturan yang melekat dalam pelaksanaan uji poligraf. Ia juga memahami rasa ingin tahu publik yang besar terhadap pengungkapan kasus ini.
“Tidak akan ada kepuasan publik, apalagi analisis liar berkembang terkait pelaksanaan uji poligraph,” terangnya.
Irjen Pol. Dedi Prasetyo Kepala Divisi Humas Polri sebelumnya menyampaikan, bahwa hasil pemeriksaan menggunakan Lie Detector atau uji poligraf adalah untuk penegakan hukum (pro justicia) yang hanya disampaikan kepada penyidik.
Menurut jenderal bintang dua itu, ada persyaratan yang sama dengan Ikatan Dokter Forensik Indonesia yang wajib dipatuhi. Poligraf juga memiliki ikatan (perhimpunan) secara universal yang berpusat di Amerika.
Puslabfor memiliki alat Poligraf yang sudah terverifikasi dan tersertifikasi baik itu ISO maupun perhimpunan poligraf di dunia. Puslabfor Polri memiliki alat poligraf buatan Amerika tahun 2019 memiliki tingkat akurasi 93 persen dengan syarat akurasi 93 persen maka hasilnya digunakan untuk penegakan hukum.
“Kalau (hasil ujinya) di bawah 90 persen tidak masuk ke dalam ranah pro justicia,” kata Dedi.
Dedi juga menyampaikan bahwa, jika hasil poligraf 93 persen masuk ranah pro justicia maka hasil pemeriksaan Uji Poligraf diserahkan ke penyidik. Lalu penyidik yang punya hak untuk mengungkapkan kepada media atau tidak, termasuk penyidik juga bisa menyampaikan-nya di persidangan.
“Karena poligraf tersebut bisa masuk dalam Pasal 184 KUHAP (tentang alat bukti yang sah menurut sistem peradilan pidana) ya alat bukti, selain petunjuk juga termasuk dalam keterangan ahli,” kata Dedi.
Dedi menegaskan, bahwa hasil uji poligraf dapat dijadikan sebagai salah satu alat bukti dalam persidangan, masuk dalam kategori sebagai bukti petunjuk. Hal itu pernah digunakan dalam kasus mutilasi M Pansoranggota DPRD Provinsi Lampung, yang jasadnya dibuang ke Sumatera Selatan pada Oktober 2016.
“Ya jelas bisa kan keterangan ahli orang yang berkompeten akan sampaikan hasilnya di sidang. lihat kasus mutilasi korban anggota DPRD di Sumsel hasil lie detector disampaikan sebagai keterangan ahli sesuai Pasal 184 KUHAP,” kata Dedi.
Senada dengan Dedi, Ketut Sumedana Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung mengatakan hasil pemeriksaan uji poligraf (lie detector) dapat digunakan di persidangan sepanjang mendukung pembuktian.
“Sepanjang mendukung pembuktian semua bisa jadi alat bukti petunjuk dan menjadi alat bukti,” kata Ketut.(ant/dfn)