Supriyono Penanggung Jawab Gerakan Sopir Jawa Timur (GSJT) menegaskan, bahwa para peserta aksi sejatinya tidak sama sekali menolak Undang-Undang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) perihal Over Dimension dan Over Load (ODOL). Mereka mendukung aturan yang memang diperuntukkan untuk keselamatan sopir maupun pengguna jalan yang lain itu.
Hanya saja, peserta aksi merasa jika jika aturan ini ditetapkan, para sopir yang terus jadi pihak yang dirugikan, karena sopir yang terus dikenai sanksi dari penilangan kendaraan ODOL.
“Kami tidak pernah menolak UU soal ODOL ini karena untuk keamanan. Tapi saat aturan ini diberlakukan, maka kami tidak mau hanya kami yang dipotong, ini yang jadi persoalan. Karena pemotongan satu bag bisa 5-10 juta. Belum pemotongan karcis sampai 15 juta,” jelas Supriyono kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (11/3/2022).
“Dengan diterapkannya undang-undang, kita jadi korban terus-terusan dari pihak kepolisian, dishub dan BPPT yang menempatkan kami bersalah,” tambahnya.
Ia menjelaskan, sopir hanya bertugas mengantarkan logistik ke tujuan. Namun saat mereka ditilang, kerapkali pihak perusahaan dan pemilik barang tidak peduli.
“Kenyataannya di jalan, kalau ditilang, ongkosan pelanggaran itu kena sopirnya. Pihak perusahaan, pemilik barang tidak mau tahu karena penentuan upah ditentukan pemilik unit dan sopir,” ungkapnya.
Untuk itu, dalam aksi kali ini, ia menuntut adanya kebijakan mengenai penetapan aturan tarif standar dalam angkutan logistik para sopir. Tujuannya, agar ada transparansi ongkos angkutan antara pemilik unit, sopir dan pemilik barang.
“Harus ada jaminan muatan satu unit normal. Kami meminta ongkosan standar sehingga tidak ada lagi main belakang. Pemilik nggak sak karepe dewe (semaunya sendiri) menentukan jumlah muatan,” ujarnya.
Jika belum ada kejelasan dari pemerintah mengenai ini, sedangkan kebutuhan pengiriman logistik saat ini cukup tinggi, peserta aksi meminta agar tilang kendaraan ODOL dihentikan sementara.
“Kami sudah ketemu Dirlantas, kami mencari kesepakatan mana yang boleh dan tidak boleh ditindak. Koordinasi ini masih berjalan. Selagi kepastian hukum tidak adil, maka kawan-kawan minta jangan dulu dilakukan penilangan,” kata Supriyono.
Ia juga membantah jika aksi ini ditunggangi oleh pihak-pihak berkepentingan. Ia menjamin bahwa semua peserta yang terlibat aksi demonstrasi adalah sopir. Kalau pun ada pemilik kendaraan, mereka adalah sopir yang hanya memiliki 1-2 unit yang juga menjadi korban dari aturan ini.
“Saya pastikan ini semua sopir. Saya koordinator 81 komunitas sopir di berbagai kota. Tidak ada penunggangan oleh organda atau orang berkepentingan. Ada pemilik itu hanya punya 1-2 unit, jadi bukan untuk PT (perusahaan) atau instansi lain,” tambahnya.
Ia juga memastikan bahwa ancaman penutupan dan blokade jalan di berbagai titik itu tidak benar.
Supriyono mengatakan, pihaknya telah berkoordinasi dengan polisi dan bersekapat untuk melakukan penutupan jalan. Ia bahkan menjamin itu.
“Saya sebagai penanggung jawab menjamin tidak akan melakukan itu hari ini. Kepolisian sudah mengawal dan mengobrol bersama kami. Kami mohon maaf jika ada pengguna jalan terganggu. Kami tidak bermaksud membuat kemacetan. Bahkan hari ini kami hanya menggunakan jalur paling kiri saja agar masih bisa dilewati,” ungkapnya.
Dalam aksi ini, ia berharap segera ada titik temu dari tuntutan para sopir ini. Karena selama belum ada solusi dan pemerintah terus mengabaikan persoalan ini, maka para sopir akan terus menjadi pihak pertama yang menjadi korban.
“Kami tidak pernah menolak UU soal ODOL ini, kami hanya minta tolong nasib kami diperhatikan karena kami memenuhi kebutuhan keluarga kami dari jalan raya,” kata Supriyono.(tin/ipg)