Sabtu, 23 November 2024

DPR Dukung Pemidanaan Non Penjara sebagai Bentuk Restorative Justice

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Ilustrasi. huffingtonpost.com

Mengenai munculnya wacana kasus korupsi Rp50 juta yang dihukum pidana non penjara dan hanya mengembalikan kerugian itu kepada negara, menuai banyak kecaman dari masyarakat.

Berdasarkan jajak pendapat dari para pendengar Radio Suara Surabaya dalam program Wawasan pada Jumat (4/2/2022) pagi, banyak yang menilai wacana itu memunculkan kesan menyepelekan kasus korupsi meski dalam jumlah kecil.

Wacana ini sendiri muncul dari Rapat Kerja dengan Komisi III DPR RI dan Jaksa Agung pada Senin (17/1/2022) lalu. Dalam rapat kerja tersebut, anggota DPR menyayangkan banyaknya kasus korupsi dengan nilai kecil, yakni sekitar Rp1-2 juta yang diproses hukum. Alhasil, biaya perkara menjadi lebih besar daripada jumlah uang korupsi itu sendiri.

Dalam rapat kerja tersebut, Jaksa Agung mengatakan terkait perkara korupsi dengan nilai kerugian keuangan negara di bawah Rp1 juta, perkara tersebut tidak berkaitan dengan kerugian keuangan negara, namun terkait upaya pemberantasan pungutan liar (saber pungli).

Sedangkan perkara tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan kerugian keuangan negara, Kejaksaan Agung telah memberikan himbauan kepada jajarannya yakni korupsi di bawah Rp50 juta agar diselesaikan dengan cara pengembalian kerugian keuangan negara sebagai upaya pelaksanaan proses hukum secara cepat, sederhana dan biaya ringan.

Nasir Djamil Anggota Komisi III DPR RI di bidang Hukum, HAM dan Keamanan mengatakan, upaya penindakan pidana non penjara ini merupakan salah satu bentuk upaya Restorative Justice. Restorative Justice atau keadilan restoratif adalah sebuah pendekatan yang ingin mengurangi kejahatan dengan menggelar pertemuan antara korban dan terdakwa, dan kadang-kadang juga melibatkan para perwakilan masyarakat secara umum.

“Prinsipnya kami memberikan dukungan yang semangatnya restorasi justice, karena kalau dihitung, biaya perkaranya lebih banyak. Ibaratnya, lebih mahal talinya daripada lembunya,” kata Nasir kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (4/2/2022).

Menurut Nasir, saat ini lapas di Indonesia sudah kelebihan kapasitas. Sedangkan di sisi lain, penegak hukum banyak mengurus perkara dengan kasus yang nilainya kecil, yang akhirnya memberikan beban besar kepada anggaran negara.

Selain demi kepastian dan keadilan, ia mengatakan hukum juga harus memberikan kebermanfaatan. Maka jika rangkaian proses ditimpakan pada kasus-kasus kecil, ia menyebut hukum itu malah tidak memberikan manfaat.

“Misalnya Rp10 juta (kasus korupsinya). Biaya perkara di kepolisian sekian, kejaksaan sekian, ditahan itu uang makan disediakan negara, belum lagi misal ditahan di kejaksaan. Setelah vonis tingkat 1 lalu dipidana. Bukan hanya waktu, tapi uangnya habis. Jadi tidak ada manfaatnya,” katanya.

Di sisi lain, Elfina Labrine Sahetapy Pengamat Hukum Pidana Universitas Surabaya (Ubaya) mengatakan, wacana ini hanya akan menodai rasa keadilan masyarakat. Alih-alih dibebaskan dari hukuman pidana penjara, Elfina lebih menyarankan agar pidana diganti dengan hukuman sanksi kerja sosial yang memberikan efek jera. Hal itu tentu diluar kewajiban mengembalikan uang itu kepada negara.(tin/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Sabtu, 23 November 2024
26o
Kurs