Indonesia dikabarkan berpotensi mengalami zero growth yang dipicu adanya resesi seks. Hal tersebut pertama kali diungkapkan dr. Hasto Wardoyo Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa waktu lalu.
Faktornya, banyak pasangan era modern lebih memilih kehidupan pernikahan tanpa anak, agar tidak mempengaruhi kualitas kehidupan mereka. Selain itu, memiliki anak dianggap akan menambah beban pasangan yang sedang fokus mengejar karier.
Bahkan, ada faktor lain seperti kelompok masyarakat tertentu yang disebutkan memilih untuk tidak menikah dan berkeluarga.
Menanggapi hal tersebut, dr. Hafid Algristian Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (FK Unusa) justru mengatakan tidak tepat kalau resesi seks disebut sebagai penyebab utama rendahnya angka kelahiran.
Menurutnya, seks dipandang dari dua sisi berdasarkan fungsinya, yakni rekreasi dan prokreasi.
“Fungsi rekreasi berarti bermanfaat sebagai stress-release yang manusiawi. Fungsi prokreasi berarti sebagai upaya untuk menghasilkan keturunan melalui proses alamiah. Dari sinilah semestinya kita bisa memandang resesi seks secara utuh,” ujar Hafid dalam keterangan yang diterima suarasurabaya.net, Senin (19/12/2022).
Hafid melanjutkan, resesi seks bisa terjadi justru apabila seks dalam fungsi rekreasinya itu mudah didapat di luar pernikahan. Kata dia, pada era modern banyak individu merasa seks bisa didapatkan tanpa harus melewati pernikahan.
“Seks adalah kesepakatan. Consent, tidak lagi harus melalui proses pernikahan yang (kadang) ribetnya minta ampun. Toh, pernikahan juga adalah consent yang dibuat acara ini-itu,” ujarnya.
Sebaliknya Dosen FK Unusa itu menyebut adapula manusia modern menganggap seks adalah beban, karena harus menyerahkan dirinya kepada orang lain untuk dikuasai.
“Kesepian tidak harus diselesaikan dengan seks. Banyak hal aseksual di luar sana yang bisa ia lakukan untuk memuaskan diri sendiri. Prestasi, karir, finansial, atau social-altruism misalnya. Itu lebih membahagiakan daripada seks,” ungkapnya.
Sementara terkait zerogrowth atau angka kelahiran rendah, Hafid menyebut seks untuk fungsi prokreasinya memang cenderung jadi momok untuk orang tua.
Salah satu bentuk momok tersebut, yakni biaya tambahan seperti sekolah dan sebagainya, serta ancaman kesehatan, bullying pada anak membuat orang tua semakin stres dan khawatir akan masa depan buah hatinya.
“Di sinilah sebenarnya, negara harus hadir. Negara harus melihat, bahwa masa depan bangsa ini ada di tangan anak-anak yang keselamatannya kita khawatirkan itu. Negara harus berani berinvestasi untuk masa depan,” ujarnya.
Salah satu bentuk kehadiran negara, menurutnya memastikan kemisikinan dan permasalahan ekonomi bisa teratasi.
“Setiap satu bayi lahir, sudah punya jaminan senilai sekian juta rupiah untuk biaya hidupnya. Jangan diwarisi hutang. Tapi kepastian bahwa anak ini bisa makan di negaranya sendiri. Orang tua tidak bingung menafkahi anak, karena sudah dapat jaminan dari negara. Jangan bilang orang tua jadi malas. Kita punya kesusahan masing-masing,” terangnya.
Terakhir, Hafid berharap permasalahan resesi seks ini tidak dipandang dari urusan rumah tangga saja. Justru ini adalah permasalahan negara.
“Perlu ada rasa nyaman bagi orang tua untuk ‘bereproduksi lebih’ dan membantu negara menghasilkan anak-anak berkualitas. Tanpa dibayang-bayangi biaya hidup yang mahal, biaya sekolah mahal, dan gaya hidup flexing yang membanggakan status tapi nir-prestasi,” pungkasnya. (bil/ipg)