Kebangkrutan yang dialami Negara Sri Lanka timbul karena tata kelola pemerintahan yang penuh dengan kepentingan lingkaran nepotisme. Menurut Siti Rohmawati Dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Airlangga (Unair), Pemerintah Sri Lanka besar pasak daripada tiang.
Wanita yang akrab disapa Irma itu mengatakan, sejak Tahun 2015 Sri Lanka sudah mendapat peringatan krisis ekonomi oleh lembaga Agent Development Change.
Pasalnya, Sri Lanka di bawah pemerintahan Gotabaya Rajapaksa Presiden pada tahun yang sama cenderung terus melakukan impor sementara produk domestik brutonya semakin menurun.
“Artinya, produktivitas yang dihasilkan oleh Negara Sri Lanka untuk menopang pemasukan negara, seperti APBN misalnya itu semakin turun. Sementara pengeluaran semakin tinggi,” kata Irma kepada Radio Suara Surabaya, Senin (11/7/2022).
Irma juga mengatakan apabila Pemerintah Sri Lanka kembali membuat keputusan yang kurang tepat, yang mana pada saat itu pemerintah melakukan pemotongan pajak.
Padahal pajak di semua negara menjadi sumber pendapatan nasional. Menurut Dosen HI ini, kebijakan yang dilakukan oleh Gotabaya Rajapaksa Presiden dan Mahinda Raja Paksa Perdana Menteri Sri Lanka waktu itu hanya untuk kepentingan kelompok masing-masing.
“Setelah pemangkasan pajak, mereka malah membuat aturan konyol lagi. Mereka mencetak uang sebanyak-banyaknya. Padahal sudah diingatkan oleh Central Bank Sri Lanka bahwa itu adalah keputusan yang salah. Akhirnya terjadi inflasi,” ujar Irma.
Kata dia, Rajapaksa bersaudara menganggap keputusan mereka sudah tepat. Sehingga mereka mengganti pejabat Central Bank supaya aturan mereka bisa berjalan. Hingga terjadilah inflasi di negara itu.
Selain beberapa faktor yang disebabkan oleh kebijakan pemerintah, kebangkrutan Sri Lanka juga disebabkan utang luar negeri yang sangat besar yaitu US$ 50,72 miliar.
Setelah memasuki masa krisis ekonomi, Irma mengungkapkan jika Pemerintah Sri Lanka justru menyalahkan pandemi Covid-19 dan Konflik Rusia-Ukraina atas krisis yang mereka alami.
“Bahwa memang benar, Rusia-Ukraina merupakan salah satu pemasok terbesar devisa Negara Sri Lanka. Akan tetapi jika secara makro dan mikro ekonomi negara itu sehat, maka tidak akan terdampak akibat konflik di luar,” imbuh dia.
Kata Irma kondisi yang dialami oleh Sri Lanka saat ini lebih dari situasi krisis moneter. Menurut dia, saat ini Sri Lanka membutuhkan pemimpin baru yang bisa mengendalikan berbagai konflik yang sedang terjadi.
“Sri Lanka sejak dulu selalu berkutat dengan konflik, pemimpin yang dibutuhkan adalah yang berlatar belakang militer. Tapi militer yang dekat dengan rakyat, namun tidak menutup kemungkinan bahwa pemimpin yang baru bisa dari warga sipil biasa,” ucap Irma.
Sebelumnya, para pengunjuk rasa pada Sabtu (9/7/2022) menyerbu kediaman resmi sang Presiden dengan penuh amarah dan membakar kediaman perdana menteri di Kolombo.
Akibat buntut protes yang berkepanjangan, melalui Mahinda Yapa Abeywardena Ketua DPR Sri Lanka mengumumkan bahwa Gotabaya Rajapaksa Presiden Sri Lanka bakal mengundurkan diri pada Rabu (13/7/2022).(wld/ipg)