Eddy Prastyo Manajer Produksi Radio Suara Surabaya menjelaskan, sejak 1999 silam Suara Surabaya (SS) mempunyai situs web meski pun hanya sebatas radio on demand maupun streaming. Tetapi seiring dengan waktu, situs web itu digarap lebih serius pada 2003.
“Ketika masuk ke era media sosial, kami juga masuk ke sana. Sudah sejak 1999 kami sebenarnya sudah punya website. Tapi awalnya hanya sebagai on demand maupun streaming aja. Tapi kemudian pada 2003 mulai serius,” katanya dalam diskusi di Konvensi Nasional HPN (Hari Pers Nasional) 2022: Membangun Model Media Massa yang Berkelanjutan, di Kendari, Sulawesi Tenggara, Selasa (8/2/2022).
Kata Eddy, tahun 2003 itu lebih serius lagi untuk mengembangkan media digital dan ber konvergensi mulai pada tahun 2013. “Pada 2013 itu kami bikin sebuah divisi yang namanya New Media, tapi sebenarnya radionya sudah berjalan yang istilahnya sudah established. Ya karena kalau di Surabaya itu kalau ada peristiwa-peristiwa atau ada komplain publik itu lebih suka curhatnya ke Suara Surabaya,” jelasnya.
Eddy juga mengungkapkan kalau SS sendiri pernah membuat riset soal kehilangan sepeda motor, yang hasilnya bahwa publik lebih banyak melapor ke SS dari pada ke Polisi.
“Kami pernah membuat sebuah perbandingan yaitu dengan riset tentang laporan kehilangan sepeda motor. Kami lakukan tabulasi, kemudian Polrestabes Surabaya mencoba untuk melakukan perbandingan. Ternyata yang dilaporkan ke SS dan ke polisi, lebih banyak yang dilaporkan ke Suara Surabaya. Nah ini yang kemudian menjadi perhatian stakeholders. Polisi, kemudian pemerintah kota, Pemprov untuk lebih banyak berkoordinasi atau bekerjasama dengan Suara Surabaya,” kata dia.
Suara Surabaya sendiri, lanjut Eddy, sebenarnya mengemas program dan produknya itu dengan tagline news, interaktif, solutif. News itu adalah produknya, Interaktif adalah metode komunikasinya, Solutif adalah output dari semuanya.
“Jadi kita tidak cuma menjadikan media Suara Surabaya yang interaktif itu cuman sekedar buang hajat, tapi juga ada solusinya. Di sana publik diajak untuk berdialektika, dan berdiskusi mencari solusi, solusi dari permasalahan mereka,” jelas Eddy.
Masuk era disrupsi digital, ditambah dengan adanya perubahan demografi dan diperparah oleh Covid-19, Eddy menjelaskan kalau hal itu berdampak juga terhadap kondisi bisnis Suara Surabaya.
“Suara Surabaya juga sempat pada tahun 2020 itu mengalami kemerosotan pada sisi bisnis. Sekitar 70% revenue kami itu turun. Jelek ya waktu dan apa yang harus kami lakukan,” ungkapnya.
Tapi, kata Eddy, waktu itu SS mengambil langkah-langkah yang cukup strategis dan agak nekat sebenarnya dengan cara pindah kantor. Dari kantor lama yang ada di tengah kampung yang kalau naik dan masuk ke sana itu harus melewati tanjakan 45°, turun juga, terus pindah ke lokasi yang lebih mentereng di Surabaya Barat.
“Langkah ini sebenarnya bukan sesuatu yang mudah buat kami. Dan itu memang sangat maksa banget karena kita berpikir dengan pindahnya kita ke lingkungan yang baru ini kemudian akan tercipta ruang-ruang kreatif baru, ada opportunity baru dan lebih membuka peran kita terhadap Surabaya dan sekitarnya. Dan memang Alhamdulillah ternyata itu menemukan momentum yang baik setelahnya,” ujar Eddy.
SS, lanjut Eddy, juga merasakan situasi yang sangat dilematis karena radio harus berkompetisi dengan media digital dan media sosial. Padahal media digital itu juga berkompetisi dengan media sosial.
Tapi, kata Eddy, SS melakukan upaya-upaya agar apa yang dilakukan lebih relevan caranya adalah terus belajar bagaimana melakukan pengukuran.
“Karena kalau di radio itu pengukurannya ya Nielsen, nggak ada lagi yang lain tapi dengan digital kami mencoba untuk mengembangkan aplikasi dan ternyata kami bisa melakukan pengukuran pengukuran di sana,” terang Eddy.
“Meskipun apakah relevansinya dengan pendekatan rasional kami itu relevan atau tidak, itu yang perlu diuji lagi. Tapi belakangan kami dapat inside yang cukup menarik dari kalangan agency bahwa mereka ternyata agak menerima itungan-itungan yang yang ada di aplikasi ini. Lagi-lagi ini kalau menurut saya di soal persepsi aja ya, bagaimana kemudian digital itu mampu untuk diterjemahkan ke dalam teresterial, kemudian jangkauan kami juga berupaya untuk lebih luas lagi dengan aplikasi, kemudian multimedia dan yang terakhir kami berupaya untuk lebih dekat kepada individual influencer. Ini langkah yang kami upayakan agar bisa tetap relevan ,” imbuhnya.
Untuk bisnis model berikutnya yang sedang SS rancang agar media ini bisa tumbuh lebih relevan, menurut dia, adalah berupaya untuk membuat one stop service.
“Jadi disini kita tidak hanya berpikir tentang publishing tools, kami juga berpikir bagaimana mengembangkan digital marketing kemudian sosial dan juga market research. Dan ini pernah kami coba model bisnis krisis manajemen yang sebenarnya ini berkaitan dengan placement kami di iklan. Jadi ada request-request khusus gitu ya agar dengan pendekatan media kami itu bisa melakukan perubahan. Entah itu perubahan yang sifatnya kebijakan, penetrasi terhadap kebijakan dan yang terkait dengan perilaku publik. Nah itu kami pernah coba dan berhasil. Mungkin caranya agak ekstrim sehingga saya tidak bisa cerita di sini karena berkaitan dengan dapur di belakang,” ujarnya.
Eddy mengaku, inilah kunci yang ditekankan di internal SS bagaimana memenangkan tantangan digital sebagai media yang berbasis masa lalu.
“Sebenarnya kita tuh harus meletakkan romantika kejayaan masa lalu di tempat yang tepat agar bisa jernih memandang masa depan, karena ini terjadi di media media konvensional. Seperti kami banyak yang melihat masa lalu itu sebagai sesuatu yang harus diulang kejayaannya, iya itu benar, tapi caranya berbeda. Kemudian perubahan dimasa baru disrupsi teknologi ini adalah sebuah demokratisasi dan ini adalah sebuah keniscayaan,” jelasnya.
Berikutnya, menurut Eddy, adalah mengembangkan konvergensi dengan gol pada jangkauan alat ukur dan kreativitas konten untuk memperbesar pengaruhnya. Selain itu perlu melakukan eksploitasi semaksimal mungkin keunggulan pada karakter media.
“Kebetulan kalau radio keunggulannya adalah intimasi dan kekerabatan sosial yang positif. Dengan adanya keintiman itu kami bisa melakukan banyak hal sehingga bukan hanya loyalitas tapi kami juga mampu untuk menghimpun kekerabatan sosial yang positif yang ujung-ujungnya adalah gerakan sosial,” tegasnya.
Berikutnya, kata Eddy, adalah berpikir one stop solution dan bertindak excellence service serta menjaga kurva tradisional, tapi di sisi lain juga membangun kurva baru.
“Ini artinya, SS sebagai radio yang berbasis news, interaktif, solutif itu harus tetap dijaga karena bukan hanya ikon tapi ini adalah sebuah spirit, tapi kita membangun kurva-kurva lain yang ikut turut serta untuk menopang ini,” bebernya.
“Selanjutnya yang harus kita lakukan adalah bagaimana mengumpulkan orang-orang, bagaimana menemukan banyak orang-orang yang hilang, kendaraan hilang semua lapornya ke SS dan kita menjadikan itu sebagai sebuah produk berita,” tambahnya.
Lebih lanjut Eddy juga mengungkapkan soal kunci untuk memenangkan media di masa depan, di antaranya adalah keintiman, yaitu memang harus ada keintiman antara publik dengan medianya, kemudian good journalism, local hype, influence and direct/indirect impact, problem solving dan kreatif.
“Jadi memang harus berdampak yang langsung maupun tidak langsung, problem solving bukan hanya jadi sarana untuk buang hajat, kreatif, ya kalau kita mau berubah pastikan bahwa kita harus mengubah diri kita sendiri sebelum mengubah orang lain,” pungkas Eddy.(faz/iss/den)