Terlahir sebagai keluarga tidak mampu mungkin berat bagi T (12 tahun) warga Krembangan Surabaya. Hingga akhirnya mencari kesenangan dengan teman di luar rumah. Nahas, dia salah pergaulan hingga harus jadi pengamen terorganisir.
Sekitar sebulan lalu, T tidak sengaja berkenalan dengan kawanan pengamen di wilayah Krembangan. Saat itu dia memilih pergi dari rumah karena dimarahi orang tua. Dia diminta tidak sering-sering bolos.
“Gabung sama anak-anak (sekitar) dua mingguan (sebelum tertangkap polisi 18 November karena mencuri sepeda motor). Lari dari rumah terus kenal mereka. Lari dari rumah karena gak sekolah. Kakiku waktu itu sakit jadi gak sekolah. Aku bolosnya di rumah,” kata T saat ditemui suarasurabaya.net di shelter milik Karang Taruna Surabaya, tempat ia ditampung, Minggu (4/12/2022).
Sejak perkenalan itu, T dan mereka semua akrab. Remaja perempuan yang masih duduk di kelas 6 SD itu menjadi lebih sering bolos bahkan hampir tidak pernah lagi sekolah. Dia juga mulai belajar merokok.
“Di Krembangan. Dikenalin sama teman-teman. Sejak kenal geng, bolos. Rokok-rokokan. Nongkrongnya depan dermaga. Tempat duduk biru besar,” jelas T yang hanya menyebutkan ciri-ciri tempat tongkrongannya.
T menjadi jarang pulang. Dia menghabiskan waktu untuk tinggal bersama kawan-kawannya. Sebuah pos jaga yang rusak di kawasan Krembangan, begitu dia menggambarkan.
Ada 15-an remaja rata-rata di bawah umur termasuk dirinya yang tinggal di pos itu. Tidur, makan, dan singgah usai letih mengamen. T juga menyebut, sebelum dia dan golongannya masuk, sudah ada sepasang suami istri (pasutri) yang menempati pos terlebih dulu.
Pasutri yang ia panggil om dan tante itu punya tiga anak yang juga jadi pengamen di antara total 15 remaja di situ. Keluarga itu menurut T punya rumah di Gadukan, Morokrembangan. Namun usai jadi buron polisi karena menjual miras, pos itu dijadikan tempat bersembunyi.
“Omnya punya rumah di Gadukan. Karena dikejar polisi gara-gara jual miras, akhirnya tinggal di situ. Omnya duluan, baru aku sama golongan ke situ. Tinggal bareng, di situ, pos jaga udah rusak. Dibetulin, dibikin, buat tidur di situ. Dari 15, ceweknya 5,” jelasnya.
Sehari-hari aktivitas mereka menjadi pengamen. R (usia 17-18 tahun), sebagai ketua, membagi 15 anak jadi tiga kelompok untuk ngamen di lokasi berbeda.
“Dibagi tiga lokasi yang ngatur gengnya, bosnya bapak-bapak (om) tidur di situ juga. Ada ibu-ibu (tante),” terangnya.
Mereka ngamen di Surabaya hingga Gresik dengan menumpang kendaraan yang lewat seperti pikap mau pun truk. Sesekali juga jalan kaki sambil mencari tumpangan.
Per kelompok mendapat hasil Rp200-250 ribu. Dari jumlah itu, nominal yang disetor ke “Om dan Tante” Rp15-20 ribuan.
“Biasanya satu kelompok Rp200-250 ribu. Keliling Gresik, Surabaya Coret, dekat Gelora Bung Tomo, nggandol (numpang). Anaknya om tante ngamen juga tiga orang,” terangnya
Usai letih mengamen hingga pukul 18.30 WIB, biasanya mereka pulang dan berkumpul. Tengah malam, mereka melanjutkan nongkrong di pinggir jalan sambil saling bertukar cerita saat berlarian menghindari kejaran orang.
“Cerita pas ngamen dikejar-kejar orang gitu-gitu. Gak ada yang punya rumah (15 anak). Cuma dua atau tiga yang punya (rumah). Ada yang dari Indramayu ke Surabaya, gabung. Punya keluarga, tapi ngabarin keluarganya lewat Facebook buat gak dicari. Pas orang tuanya datang ke Surabaya, dia disuruh sembunyi sama golongan,” T menceritakan pengalamannya.
Selama berada di pos itu, orang tua T sering mencari, bahkan menjemput ke lokasi. Tapi usai dijemput, dalam hitungan jam T memilih kembali ke sana.
Perihal yang dirasakan, T mengaku cukup kerasan. Paling, saat sedang diancam dibunuh, diminta melakukan sesuatu misalnya mencuri, dia ingin pulang.
Tapi, ponsel miliknya dari orang tuanya terlanjur hilang. T mengaku HPnya dipinjam R dan dijanjikan akan kembali. Tapi ternyata saat berusaha menagih, R menjawab ponsel itu sudah dijual.
Akhirnya T memilih mengubur keinginannya untuk pulang. Karena takut orang tuanya marah.
“Pas HP dijual pengen pulang. Kadang (rasanya) seneng (di sana), kadang nggak karena diancam. Senengnya ngumpul bareng. (Meski) di rumah (juga) bisa kumpul-kumpul,” kata T.
Selain ngamen, R juga meminta T dan A, anak lain seusia T, untuk mencuri motor. Tidak ada imbalan uang yang didapat, hanya sebagai pelaksana. Hingga akhirnya T dan A resmi jadi tahanan Polsek Sawahan per 18 November 2022 karena ketangkap warga saat beraksi mencuri motor di Wonokitri.
Pencurian itu kedua kalinya, setelah yang pertama di Kembang Kuning beberapa waktu sebelumnya.
T juga tidak pernah menyadari jika “Om dan Tante” di pos memanfaatkannya. Pasalnya, ketika ia tidak ngamen, tetap diberi makan. Alasannya, T dianggap paling penurut dibanding 14 anak lainnya.
“Omnya baik ke aku karena aku bisa dibilangin. Om juga suruh aku pulang tapi ibunya (tante) selalu bilang gak boleh. Kadang kalau aku gak ngamen, dikasih makan tetep,” imbuhnya.
Tapi, usai jeratan pidananya selesai, T tidak ingin lagi kembali berkumpul bersama mereka. T ingat betul, tidak satu pun dari golongannya menolong saat ia tertangkap basah warga usai menjalankan perintah R mencuri sepeda motor. Kini, ia tidak tahu, teman-teman dan “Om dan Tante”nya itu masih berada di lokasi atau sudah pergi.
“Kalau aku ketangkep, semuanya pergi. (Aku) pengen sekolah lagi. Pengen pulang juga suatu saat nanti (ke rumah). (Menyesal) ketemu R. Kalau aku ketemu, aku bilang kakakku biar R dibawa (polisi) juga,” tuturnya sambil menunduk kepala.
Sementara Fuad Bernardi Ketua Karang Taruna Surabaya, mengaku akan berkoordinasi dengan orang tua T mengenai kelanjutan sekolahnya ke jenjang SMP nanti.
Sementara waktu, T tetap ada di shelter kartar, yang bertempat di rumah milik salah satu pengurus. Seluruh pengurus, lanjutnya.M, akan bergotong-royong menghidupi T dan anak-anak bermasalah lainnya secara swadaya.
“Sementara pakai dana dari donatur berbagai dan kartar sendiri. Kota bantu anak-anak yang tidak mau diambil panti lagi, dan lain-lain,” pungkasnya.(lta/bil/ipg)