Jumat, 22 November 2024

Cegah Kekerasan Seksual di Dunia Pendidikan, Pemerintah Harus Segera Buat Aturan Turunan UU TPKS

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Seorang perempuan memperlihatkan peraga kampanye Indonesia Bebas Kekerasan Seksual di posko layanan informasi Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (K16HAKTP) di Lhokseumawe, Provinsi Aceh. Foto: Antara

Netty Prasetiyani Anggota Komisi IX Fraksi PKS mengatakan banyaknya kasus kejahatan seksual di lingkungan pendidikan yang terungkap belakangan ini dapat menjadi indikator adanya fenomena gunung es yang menimpa peserta didik.

“Saya khawatir ini menjadi indikator fenomena gunung es, kasus sebenarnya jauh lebih banyak. Kondisi ini tentu menodai lembaga pendidikan yang seharusnya menjadi tempat pembinaan jati diri dan karakter anak bangsa,” ujar Netty dalam keterangannya, Sabtu (23/7/2022).

Menurut Netty, peserta didik berhak mendapatkan lingkungan yang aman, terlindungi dari kekerasan dan jauh dari ancaman bahaya.

“Mereka adalah generasi harapan bangsa yang berpeluang mengisi pos-pos penting di masyarakat maupun negara di masa depan. Bagaimana nasib mereka jika mengalami kejahatan seksual dalam masa pendidikannya,” ujarnya.

Netty menambahkan satu di antara faktor penyebab tindakan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan adalah karena pelaku merasa memiliki kekuasaan dan berhak berlaku sewenang-wenang pada peserta didik. Kekuasaan pelaku membuat korban tidak berdaya dan takut melapor.

Dalam laporan Komnas Perempuan, kata Netty, pada periode 2015-2021 sebanyak 67 kasus kekerasan seksual terjadi di sekolah dan perguruan tinggi. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual mencapai 87,91 persen.

Oleh karena itu, Netty meminta pemerintah agar menindaklanjuti pengesahan UU TPKS dengan peraturan pemerintah sebagai turunannya sehingga dapat berdampak pada penurunan kasus.

“Payung hukum berupa undang-undang saja tidak cukup. Diperlukan respon institusi pendidikan untuk membuat regulasi turunan, termasuk mekanisme preventif dan perlindungannya,” ujarnya.

Menurut Netty, jika terjadi kasus, institusi pendidikan harus bergerak cepat merespon, melindungi korban dan membantu proses pelaporan.

“Jangan malah ditutup-tutupi. Otoritas institusi harus siap mendampingi korban, termasuk memberi akses pemulihan kondisi korban,” ungkapnya.(faz/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs