Jumat, 22 November 2024

Catatan 24 Tahun Reformasi, Pakar: Masih Ada Agenda yang Tak Kunjung Terselesaikan

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Aksi demo mahasiswa didepan gedung DPR RI, Senin (11/4/2022). Foto: Farid suarsurabaya.net

Perjalanan Reformasi di Indonesia telah memasuki usia ke-24 tahun pada hari ini, Sabtu (21/5/2022). Pada hari tersebut di tahun 1998, Soeharto Presiden ke-2 RI mengundurkan diri dari jabatannya setelah berkuasa selama 32 tahun.

Selama Menjabat sebagai Presiden di era Orde Baru, Jenderal bintang lima itu dinilai otoriter dalam berkuasa. Selain itu, dugaan pelanggaran HAM dan kegagalan Soeharto dalam menyelesaikan krisis moneter sesuai mandat MPR, justru berujung pada krisis kepercayaan masyarakat.

Gatot Priyowidodo Dosen Komunikasi Politik dan Komunikasi Organisasi Universitas Kristen (UK) Petra, pada Radio Suara Surabaya Sabtu (21/5/2022) mengatakan, terdapat enam catatan penting dari agenda reformasi yang terjadi 24 tahun lalu.

“Yang pertama dan sampai saat ini tidak bisa terselesaikan adalah pengadilan untuk pak Soeharto dan kroni-kroninya, sampai yang bersangkutan meninggal dunia. Kedua agenda pemberantasan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang selama ini terus digaungkan, namun faktanya belum pernah dan sangat sulit untuk dilaksanakan,” paparnya.

Namun, adapula agenda yang berhasil dilaksanakan, yakni Amandemen Undang-Undang 1945 yang membatasi masa jabatan presiden dan wakil presiden, juga Penghapusan dwi fungsi ABRI.

“Agenda kelima yaitu Supremasi Hukum, sebenarnya masih setengah-setengah bisa berhasil dijalankan. Kemudian agenda terakhir ada Otonomi Daerah (Otoda) yang saya pikir juga berjalan, terbukti dengan adanya Pilkada Serentak. Jadi kalau menurut saya, enam agenda ini tiga berhasil, dan tiganya masih belum,” tutur Gatot.

Hasil tersebut, lanjut dia, masih bisa dihitung sebagai sebuah kegagalan melihat bagaimana perjuangan Mahasiswa yang melancarkan aksinya, memperjuangkan Reformasi pada Mei 1998.

“Karena masih sebagian yang berhasil, jadi masih bisa dibilang gagal. Contohnya ya Supremasi Hukum yang memang belum bisa dimaksimalkan sesuai cita-cita reformasi,” ujar Gatot.

Meski demikian, Gatot menjelaskan, hal tersebut tidak bisa disalahkan ke pihak manapun baik kalangan elite maupun publik. Apalagi, dengan keberagaman yang dimiliki Indonesia, mulai dari etnis, agama, bahkan kepentingan politik, jadi kendala utama tidak segera terselesaikannya permasalahan Reformasi.

Sementara itu, terdapat sebuah anggapan terkait demokrasi yang lahir dari reformasi di Indonesia, justru menyebabkan tak kunjung selesainya permasalahan yang ada.

Dosen Komunikasi Politik Komunikasi Organisasi UK Petra menambahkan, sistem demokrasi sebenarnya sudah sangat tepat untuk Indonesia. Namun, tergantung pada bagaimana kedewasaan masyarakat dalam menyikapi.

“Setiap lima tahun pun kita ada Pemilu, disitu sebenarnya pembaruan kontrak politik dengan elit. Disitu seharusnya ada ruang evaluasi untuk menilai, pada pemerintahan periode sebelumnya mana yang beres dan mana yang belum,” terangnya.

Meski demikian, Gatot mengakui jika beberapa kebijakan yang ada saat ini, masih tersandra kepentingan kelompok-kelompok tertentu.

“Solusinya, generasi sekarang apalagi yang baru jangan egois, harus buka catatan sejarah. Jangan hanya teriak reformasi tapi tidak tahu isinya dan asal berjuang,” pungkasnya. (bil)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
29o
Kurs