Jumat, 22 November 2024

BPJS Watch: Inpres Harus Diiringi Peningkatan Pelayanan Supaya Masyarakat Mau Gotong Royong

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Ilustrasi Kartu BPJS Kesehatan. Foto: enterbogor.blogspot.com

Timboel Siregar Koordinator Advokasi BPJS Watch mengatakan, Instruksi Presiden 1/2022 tentang optimalisasi Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), yang secara spesifik memuat sanksi administratif bagi masyarakat yang belum jadi peserta, dia harap disertai peningkatan pelayanan kesehatan sehingga muncul kesadaran masyarakat untuk bergotong royong dalam program BPJS Kesehatan.

Dia jelaskan, Inpres 1/2022 itu sebenarnya merupakan turunan dari Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) yang mewajibkan seluruh rakyat menjadi peserta BPJS Kesehatan. Juga sesuai dengan Undang-Undang 24/2011 tentang BPJS yang juga mewajibkan seluruh rakyat mengikuti JKN.

“Nah, dalam rangka memastikan seluruh rakyat menjadi peserta dan bergotong royong, maka lahir Peraturan Pemerintah 86/2013 yang memang mengatur tentang sanksi berkaitan pelayanan publik. Jadi soal sanksi itu sebenarnya sudah dirancang sejak 2013 lalu, terutama bagi orang yang belum mau menjadi peserta BPJS Kesehatan,” ujarnya.

Kepesertaan wajib bagi pekerja formal, dalam hal ini mewajibkan seluruh pengusaha mengikutsertakan pekerjanya dalam program JKN-KIS sudah dimulai pada 1 Januari 2015, sebagaima diatur dalam Perpres 111/2013. Sedangkan kewajiban untuk masyarakat umum dimulai 1 Januari 2019, sesuai Perpres 82/2018.

“Jadi kepesertaan wajib untuk masyarakat itu dimulai 1 Januari 2019. Tapi memang sejak 2019 sampai sekarang itu masih ada sekitar 40 juta masyarakat yang belum daftar sama sekali. Kemudian, ada sekitar 46 juta atau 47 juta orang yang sudah mendaftar tapi menunggak iuran. Termasuk di dalamnya ada masyarakat miskin yang dikeluarkan kemensos dari kepesertaan Bantuan Iuran,” ujarnya.

Persoalannya, sekarang, kata Timboel, ketika kepesertaan wajib itu mulai diterapkan sesuai Perpres 82/2018 sejak 1 Januari 2019, seharusnya sejak saat itu seluruh rakyat harus punya akses terhadap JKN. Dia tegaskan, ketika kepesertaan itu sudah diwajibkan, masyarakat tidak boleh lagi ada yang tidak memiliki akses ke pelayanan kesehatan yang diselenggarakan BPJS.

“Makna kedua, dengan kepesertaan yang makin besar, itu akan menopang pendapatan (BPJS KEsehatan) dari iuran yang semakin besar. Karena pendapatan utama JKN adalah dari iuran. Nah kepesertaan ini akan meningkatkan penerimaan iuran untuk membiayai saudara kita yang sakit, yang kebetulan sakit ginjal, stroke dan sebagainya. Inilah bentuk gotong-royong untuk membantu membiayai saudara kita, tetangga kita, yang sedang sakit,” katanya.

Sebenarnya, kata Timboel, syarat wajib kepesertaan BPJS Kesehatan untuk sejumlah pelayanan administrasi sesuai dengan Inpres 1/2022 itu untuk memastikan agar proses gotong royong melalui program JKN-KIS itu terwujud. Namun, dia menekankan, seharusnya penerapan sanksi itu dibarengi apan yang diamanatkan dalam pasal 24 ayat 3 UU SJSN bahwa BPJS Kesehatan harus terus meningkatkan pelayanannya kepada masyarakat.

“Sehingga, seharusnya, kalau pelayanan itu lebih mumpuni atau lebih baik, tidak harus ada Inpres 1/2022. Karena akan ada kesadaran masyarakat untuk gotong royong saling membantu mereka yang sedang sakit dengan menjadi peserta BPJS Kesehatan,” ujarnya. “Jadi benar, pelayanan itu memang harus terus dipertanyakan oleh masyarakat supaya BPJS Kesehatan dan pemerintah dalam hal ini Kemenkes meningkatkan pelayanannya.”

Fakta yang terjadi, kata Timboel, BPJS Watch sebagai organisasi yang mengadvokasi peserta JKN masih sering mendengar ada pasien peserta BPJS Kesehatan yang didiskriminasi dibandingkan dengan pasien umum. Ada juga pasien yang masih disuruh beli obat sendiri. Ada pasien yang susah mendapatkan ruang perawatan dan harus menunggu berbulan-bulan untuk mendapatkan penanganan operasi, dan sebagainya.

“Ini, kan, yang harus juga dipastikan. Peningkatan pelayanan itu unsur utama, sehingga masyarakat kita bisa mengakses, merasakan. Bisa jadi 47 juta orang yang sudah jadi anggota tapi menunggak itu justru tidak mau membayar iuran lagi setelah mereka mengakses layanan di rumah sakit. Jadi kemampuannya ada tapi kemauan membayarnya yang tidak ada,” katanya.

Ada sejumlah permasalahan dalam hal pelayanan BPJS Kesehatan yang menurutnya perlu diperbaiki. Salah satunya adalah dari sisi pengelolaan penerimaan dan pembiayaan BPJS Kesehatan yang sempat defisit selama enam tahun awal beroperasi, tertolong dengan adanya pandemi Covid-19 yang membuat masyarakat peserta BPJS Kesehatan takut ke rumah sakit sehingga terjadi surplus.

“Dua tahun terakhir ini surplus, tapi surplusnya tidak secara sistemik. Karena masyarakat tidak berani ke rumah sakit, biaya pelayanannya turun. Kalau kita baca pada 2019 lalu, biaya pelayanan kesehatan itu Rp108 triliun. Di 2020 turun ke Rp95 triliun, dan akhirnya di 2021 saya baca datanya Rp90 triliun. Terus turun. Tapi ke depan, kan, Covid-19 ini akan menjadi endemi, sehingga masyarakat kembali berani ke rumah sakit. Nah, kalau nanti basis penerimaan iurannya tetap kurang, tetap akan terjadi defisit. Ini akan menjadi persoalan untuk peningkatan pelayanan,” ujarnya.

Selain itu, kata dia, selama ini Presiden tidak menjadikan pelayanan kesehatan oleh BPJS maupun Kemenkes itu sebagai bahan evaluasi yang mana dia melihat masalah defisit itu muncul karena koordinasi antarlembaga dan kementerian yang tidak mampu menjawab persoalan di Program JKN-KIS. Buktinya, sebelum Inpres 1/2022 ini sudah ada Inpres 8/2017 yang juga mengatur optimalisasi JKN tapi saat itu defisit iuran tetap terjadi mencapai Rp10,2 triliun.

“Kalau saya melihatnya Pak Presiden tidak juga mengontrol para pembantunya untuk serius menangani persoalan ini. Saya berharap salah satunya yang dikontrol adalah direksi BPJS Kesehatan. Bagaimana mereka bisa menempatkan staf BPJS di rumah sakit sehingga setiap peserta yang mengalami persoalan bisa langsung berkomunikasi dan mengadu. Sehingga orang BPJS yang berhadapan dengan rumah sakit,” ujarnya.

Selama ini, kata Timboel, keberadaan unit pengaduan BPJS Kesehatan di setiap fasilitas kesehatan sesuai dengan Perpres 82/2018 tidak ditemukan di lapangan. BPJS Watch justru mendapati, unit pengaduan BPJS Kesehatan yang ada di rumah sakit justru diisi oleh petugas rumah sakit, bukan petugas atau staf dari BPJS Kesehatan.

“Saya perhatikan di beberapa rumah sakit tidak ada unit pengaduan itu. Justru unit pengaduan BPJS itu diisi orang rumah sakit. Loh, kita ini bermasalah dengan rumah sakit, terus kita mengadunya juga ke orang rumah sakit. Kan, percuma. Artinya perlu dibangun komunikasi intens dengan peserta supaya persoalan-persoalan yang dihadapi bisa dibantu,” ujarnya.

Satu lagi persoalan yang harus diatasi, yakni soal kemitraan BPJS Kesehatan dengan rumah sakit. Seharusnya sesuai dengan perjanjian itu, BPJS kesehatan mewakili peserta menandatangani perjanjian kerja sama dengan rumah sakit supaya rumah sakit menjalankan tugasnya memberikan manfaat kepada peserta BPJS Kesehatan sesuai dengan regulasi yang ada.

Dia menyebutkan, sebagaimana di Perpres 82/2018 disebutkan jelas, tidak boleh lagi peserta JKN dimintai biaya. Juga diatur bahwa obat adalah bagian yang harus dikawal JKN. Dia pun mempertanyakan, bagaimana BPJS mengawal perjanjian sesuai regulasi itu? Seharusnya, kata Timboel, ada upaya BPJS Kesehatan untuk mengawal, bila ada peserta yang sedang dirawat diminta menebus obat di luar apotek rumah sakit, peserta itu bisa mengadukan dan bisa mereimburs biaya obat yang sudah dikeluarkan.

“Karena obat itu bagian dari pelayanan BPJS Kesehatan. Apakah sampai sekarang persoalan-persoalan seperti itu tidak terjadi? Kami yakin masih terjadi, karena masih banyak peserta JKN tidak tahu fasilitas apa sih yang bisa mereka dapat ketika harus rawat inap, rawat jalan, serta saat di fasilitas kesehatan tingkat pertama? Karena aturan itu berubah-ubah,” ujarnya.

Timboel menyebutkan, ada banyak revisi peraturan presiden yang muncul terkait manfaat bagi peserta yang berubah-ubah. Namun, hal itu tidak diiringi dengan edukasi yang baik kepada masyarakat. Padahal, dengan edukasi yang baik akan terjadi pemahaman alamiah di masyarakat agar mereka sadar untuk saling bergotong royong dalam program JKN ini, membantu yang sakit dan mendapatkan bantuan ketika mereka sakit.

“Kami berharap penerapan sanksi pelayanan publik ini secara otomatis disertai peningkatan pelayanan kesehatan, dan akan meningkatkan kesadaran masyarakat secara alamiah untuk bergotong royong. Jangan sampai ada lagi istilah “sakit sedikit miskin (sadikin) atau jatuh miskin lagi (jamila)”. Karena itulah perlu adanya kesadaran untuk gotong royong dalam program JKN ini,” ujarnya.(den/ipg)

Berita Terkait

Surabaya
Jumat, 22 November 2024
31o
Kurs