Sutrisno pemilik UKM Batik Alpujabar sedang asik membatik menggunakan canting elektrik. Kain polos warna cokelat muda dipenuhi desain gambar Suro dan Boyo.
Lewat sebuah proses panjang, selembar kain batik buatan Tris, panggilan akrabnya paling sederhana dihargai Rp500 ribu, bisa dibayangkan batik dengan motif rumit kombinasi batik tulis dan batik cap ini harganya bisa mencapai Rp5 juta.
Kilas balik perjuangan Sutrisno merubah eks lokalisasi Dolly dan Jarak Surabaya menjadi sebuah kawasan yang produktif tidak semudah membalik telapak tangan.
Dimulai sejak isu penutupan tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara delapan tahun lalu, Pemerintah Kota Surabaya sudah gencar memberi pelatihan buat warga sekitar.
“Saat itu suda ada isu Dolly akan ditutup, Pemkot membina warga yang hidupnya bergantung pada lokalisasi Dolly untuk bisa mandiri dengan beragam pelatihan, salah satunya batik,” jelas Tris kepada suarasurabaya.net, Sabtu (25/6/2022).
Tris yang awalnya berprofesi sebagai penjual sticker dan wallpaper di masa kejayaan Dolly ini, mengikuti pelatihan meski satu-satunya pria namun baginya membatik adalah pilihan tepat.
Pilihannya tidak salah, setelah beberapa kali mengikuti pelatihan yang diselenggarakan di Balai RW, meski satu-persatu peserta pelatihan banyak yang mundur, ia mantap menekuni profesi sebagai pembatik.
Tak sekedar menjual batik, Tris juga menggelar workshop membuat batik kepada siapa saja, pengunjung yang datang bukan warga Surabaya saja tapi juga luar negeri, ini yang membuat batiknya dengan Alpujabar singkatan dari Alamat Putat Jaya Gang Lebar juga terangkat popularitasnya.
“Ciri batik saya itu dengan memadukan semua motif, ada unsur batik Solo maupun Jogja lalu saya modif sedikit dengan menambahkan ciri khas Suroboyoan dan inilah menjadi ciri khas saya,” tuturnya.
Pandemi menjadi pukulan berat baginya, karena workshop sentra batik yang biasanya ramai pengunjung belajar membatik maupun orang yang mau membeli kain batik buatannya menurun drastis. “Nyaris 40 persen turunnya,” ungkapnya.
Tak ingin menyerah dengan keadaaan pandemi yang membuat pengerajin batik di sekitar Putat Jaya bertumbangan, Tris lalu memilih untuk memasarkan secara online.
“Selama pandemi kita tidak boleh berkumpul, jadi kami maksimalkan dengan berdagang online, di instagram saya pasang contoh beberapa produk, kalau mereka ingin custom biasanya datang langsung ke sini,” ujarnya.
Tris yakin dengan bantuan Pemkot yang sebelum pandemi memfasilitasi pameran, membentuk jaringan sesama pembatik dan turut membantu mereka tetap bertahan di tengah hempasan pandemi.
Salah satunya dengan kerja sama bersama desainer Alben Ayub Andal, ia berkolaborasi dengan membuat masker untuk semua rancangan baju rancangannya.
“Saat pandemi, masker seperti fashion juga jadi ada mix and match dengan busananya,” kisahnya.
Masker buatannya berbahan batik tulis, dihargai Rp50 ribu per buah.
Kondisi pandemi sepi pembeli dan pengunjung di sentra batik tidak menjadikan Tris dan tiga orang pengerajin batik berhenti berkreativitas. “Pandemi ini memang pemasukan kami menurun, tapi kami manfaatkan untuk menabung stok, kita berpuasa tapi senjata kita banyak. Sekarang ini waktunya kita mengeluarkan senjata,” ibaratnya.
Tris mengatakan taktik ini belajar dari para pengerajin batik di Bantul. “Buktinya sekarang saya lihat mereka sudah bangkit dan jualannya laris manis dan mulai kewalahan,” ujarnya senang. (man/iss)