Bila Anda mengetikkan keyword tentang sesuatu yang sedang ramai diperbincangkan saat ini, mesin pencari akan mengeluarkan daftar berita terkait hal tersebut. Kebanyakan berita tersebut berasal dari narasumber yang sama, dengan angle berita yang sama dan judul yang hampir mirip pula sehingga menghasilkan berita-berita seragam.
Menurut Dwi Eko (Lucky) Lokononto anggota Badan Pertimbangan dan Pengawas Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), jurnalis di era digital seharusnya bisa berkarya dan berkembang lebih cepat dibandingkan jurnalis di era Lucky dulu.
“(Jurnalis) mencari referensi ide untuk dikembangkan bisa lebih mudah karena dunia sudah dalam genggaman. Artinya, jurnalis punya keleluasaan yang luar biasa untuk menghasilkan produk jurnalistik lebih dalam datanya dan punya makna bagi pembaca,” kata Lucky saat dihubungi Radio Suara Surabaya, Rabu (9/2/2022) dalam rangka Hari Pers Nasional 2022.
Dengan kesempatan yang begitu terbuka lebar untuk jurnalis, Lucky menyayangkan kalau pada akhirnya output berita yang dihasilkan adalah berita yang sama.
“Ke depan konten original justru dibutuhkan pembaca. Ketika nanti ada suatu era ad (advertising) for news, iklan akan menyasar berita dan berita harus original maka kesempatan buat wartawan yang tidak kloning lebih besar kontribusinya bukan hanya pada perusahaan tapi juga pada profesi dirinya sendiri,” terangnya.
Dia pun juga menyebut jurnalis di era sekarang punya kesempatan untuk melakukan lompatan sosial yang lebih tinggi, seperti menjadi influencer bahkan jurnalis yang pendapatnya didengar oleh banyak orang.
“Kesempatan buat jurnalis sangat besar. Di era digital punya kemampuan tulisannya dibaca lebih banyak orang melalui algoritma platform digital sehingga bisa menginspirasi lebih banyak orang,” ungkapnya.
Senada dengan Lucky, Judy Djoko Wahyono pemerhati media juga menyatakan keprihatinan atas berita seragam para jurnalis.
Berita seragam, menurutnya membuat jurnalis kehilangan daya tarik sehingga publik lebih tertarik pada berita yang dibaca di media sosial, meskipun kebenarannya tidak dapat diverifikasi.
“Pers terseret pada arus berita yang sensasional atau berita yang lempeng saja. Misalkan dari konferensi pers jadi berita. Itu gak cukup, menurut aku konferensi pers jadi bahan dasar jurnalis untuk menggali yang lebih dalam dan jauh, karena ada data yang tidak disampaikan dalam konpers,” pungkasnya.(dfn/rst)